Jejak CIA dalam Sastra Indonesia Sebelum 1965

Pada 12 April 1955 Mochtar Lubis menjemput tulisan Beb Vuyk untuk harian Indonesia Raya. Siang itu, ia kelihatan sangat tergesa. Tanpa sempat menjawab pertanyaan Beb Vuyk, ia bergegas ke bandara menjemput seorang kolega yang datang dari Prancis. Kabar kedatangan itu juga akan menjadi laporan dalam lembaran harian oposisi pemerintah miliknya itu.


Beb Vuyk paham betul betapa terkenal dan berpengaruhnya pria yang dijemput Mochtar Lubis. Lalu ia menghubungi Sutan Takdir Alisyahbana lewat telepon. “Undang dia ke Tugu pada akhir pekan, dan undang semua anggota studi klub untuk datang. Ini akan menarik,” balas Sutan Takdir. Pendiri majalah Pujangga Baru dan Konfrontasi itu melanjutkan, “Tanyakan ke dia, bisakah jika ia memberi ceramah tentang Sastra Negro Amerika?”


Sebuah agenda di puncak Bogor telah ditetapkan. Dalam artikelnya yang dimuat majalah berita mingguan Belanda Vrij Nederland pada edisi November 1960, Beb Vuyk menulis pertemuan itu diadakan sehari sebelum Konferensi Asia—Afrika, pada hari Minggu 17 April 1955. Akan tetapi, ia menceritakan jadwal yang salah. Pertemuan itu diadakan pada hari Minggu tanggal 1 Mei.


Tiga bulan setelah pertemuan di Tugu, pria yang mereka undang itu menulis catatan perjalanan yang juga menceritakan obrolannya dengan Mochtar Lubis. Catatan itu dimuat majalah Inggris Encounter edisi Agustus 1955. Beb Vuyk sengaja menulis artikel tadi sebagai serangan balasan catatan perjalanan ini. Narasi dalam catatan perjalanan itu mengaburkan citra Mochtar Lubis dan Sutan Takdir. Mochtar Lubis melayangkan protes yang dimuat di Encounter bulan Maret 1956. Tidak lama berselang, catatan perjalanan yang lebih panjang terbit menjadi sebuah buku.


Balas-membalas antara Beb Vuyk, Mochtar Lubis dan pria itu seolah menceritakan sebuah pertemuan yang serba kebetulan. Tapi, pertemuan itu telah diatur, mungkin beserta polemik murahannya juga. Mereka dipertemukan dalam agenda terselubung Kongres Kebebasan Kebudayaan (CCF) yang ditajai oleh mesin intelijen Amerika, CIA. Pria itu bernama Richard Wright.

Richard Wright dan Konferensi Asia—Afrika

Pada bulan Desember 1954 di Kota Paris, penulis kulit hitam terkenal Amerika Richard Wright iseng mengambil koran sore di dekatnya. Ia terhenyak mendapati berita soal rencana Konferensi Asia—Afrika. Kabar itu menarik minatnya, ia ingin menyaksikan secara langsung gerakan akbar masyarakat kulit bewarna di Bandung itu. KAA mewakili perasaannya sebagai bagian dari elan gerakan kulit hitam Amerika melawan rasisme. Keduanya memiliki suara senada, “penghapusan penjajahan di seluruh dunia.”


Richard Wright menunjukkan berita serta menyampaikan keinginannya itu ke istrinya. “Apa yang akan kamu lakukan di sana?” tanya Ellen Poplar. Ia menjawab dengan mantap, “Aku akan mencoba menulis laporan pertemuan ini, apa artinya—“ Istrinya menyela, “Untuk siapa?” Wright terlihat ragu, “Aku tidak tahu. Untuk seseorang … “


Cerita soal rencana itu tertulis dalam The Color Curtain: A Report on the Bandung Conference yang terbit tahun 1956, setahun setelah KAA. Akan tetapi, penaja di balik keberangkatannya ke Indonesia tidak diceritakan dalam catatan perjalanan ini. Secara diam-diam Richard Wright berkomunikasi lewat surat dengan Michael Josselson, agen CIA yang menginisiasi Kongres Kebebasan Kebudayaan (CCF) pada tahun 1950 di Berlin, Jerman untuk memerangi pengaruh komunisme di medan kebudayaan.



Richard Wright di teras villa Sutan Takdir bersama anggota Studi Klub Konfrontasi. Sumber: Beinecke Rare Book dan Manuscript Library, Yale University.

Richard Wright bersama anggota Studi Klub Konfrontasi, 1955. Dari kiri ke kanan: Richard Wright, Siti Nuraini, Fedja (putri Siti Nuraini dan Asrul Sani), dan Sitor Situmorang (hanya lengan). Fotografer tidak dikenal. Sumber: Beinecke Rare Book dan Manuscript Library, Yale University.

Dikutip dari buku Brian Rusell Roberts dan Keith Foulcher Indonesian Notebook: A Sourcebook on Richard Wright and the Bandung Conference (2016) surat direktur CCF, Michael Josselson yang bertitimangsa 23 Februari 1955 itu mengatakan, “Saya yakin Pak Lubis dengan senang hati akan memberi bantuan kepada Anda dan di sisi lain Anda akan mengetahui bahwa ia luwes, menarik, dan berwawasan luas. Saya telah menyarankan pada Pak Lubis, saat Anda berada di Jakarta, Anda mungkin ingin memberi ceramah di Klub PEN di sana.”


Pada puncak Perang Dingin, Michael Josselson menahkodai CCF dari tahun 1950 sampai 1967. Organ ini bertujuan mendorong daya tarik kaum intelektual Eropa Barat menjauh dari Marxisme dan Komunisme ke arah pandangan “cara Amerika”, tulis Frances Stonor Saunders dalam bukunya Who Paid The Piper? The CIA and the Cultural Cold War (1999).


CCF memiliki kantor di tiga puluh lima negara, menerbitkan dua puluh lebih majalah bergengsi, mengorganisasi konferensi internasional, serta memiliki perwakilan di mana-mana termasuk Indonesia. Kenyataan inilah yang menjembatani pertemuan Richard Wright dengan Mochtar Lubis, Sutan Takdir Alisyahbana dan intelektual Indonesia lainnya.


Catatan perjalanan berupa artikel yang ditulis Richard Wright bertajuk ”Indonesian Notebook” diterbitkan oleh majalah CCF berbasis di Inggris yang ditajai oleh CIA, Encounter edisi Agustus 1955. Artikel itu lalu dimuat di saluran CCF lainnya seperti majalah Der Monat di Jerman, Preuves di Prancis, dan majalah CCF berbahasa Spanyol Cuadernos. Di Indonesia, salah satu artikelnya pernah dimuat majalah Konfrontasi.


Richard Wright mengenakan kemeja batik di KAA, duduk bersama sesama reporter Afro-Amerika Ethel Payne. Dari Film “Konperensi Asia Afrika” (1955), diproduksi oleh Perusahaan Film Negara. Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia

Konfrontasi dan Terbitan CCF

Setelah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia, Sutan Takdir beserta redaksi merasa majalah Pujangga Baru—yang menjadi kawah candradimuka polemik kebudayaan pada tahun 1930-an—tidak kontekstual dengan zaman. Mereka memutuskan menghentikannya dan menerbitkan majalah yang terbit dua bulan sekali, Konfrontasi.


Nomor perdana majalah Konfrontasi terbit pada bulan Agustus 1954. Majalah sastra dan politik kebudayaan ini bertujuan terlibat dalam pembangunan kebudayaan Indonesia modern. Redaktur majalah yang beralamat redaksi di Jalan Blitar no. 6, Jakarta ini antara lain, Sutan Takdir Alisyahbana, Hazil Tanzil, Beb Vuyk, dan Achdiat Karta Mihardja—rumah Mochtar Lubis waktu itu juga berada di Jalan Blitar, tapi saya tidak tahu apakah alamat redaksi Konfrontasi sama dengan alamatnya.


Konfrontasi juga menjadi lalu lintas kebudayaan dunia melalui penerjemahan esai dan karya sastra. Penelitian Keith Foulcher berjudul “Membawa Pulang Dunia; Lalu lintas budaya dalam Konfrontasi 1954—1960” menyebut majalah ini “mencerminkan rasa percaya diri para intelektual, seniman dan pengarang Indonesia untuk memasuki lingkaran kebudayaan internasional.” Ada sebuah lelucon menarik, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris ‘konfrontasi’ sepadan dengan ‘encounter’.


Jejak CCF yang ditajai secara diam-diam oleh CIA itu dapat ditelusuri dalam lembaran majalah ini. Pada Februari 1955 Sutan Takdir memberikan ceramah berjudul “Nilai Tradisi dan Nilai Modern dalam Kebudayaan Kita” dalam Kongres Kebebasan Kebudayaan (CCF) di Rangoon, Myanmar. Ceramah itu dimuat dalam Konfrontasi nomor 5 bulan Maret—April 1955. Dalam kongres ini, Mochtar Lubis juga hadir.


Selain menghadiri konferensi, keterkaitan Sutan Takdir dan CCF juga dapat dilihat dari penerbitan bukunya berjudul Indonesian in Modern World yang diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Ben Anderson. Buku ini diterbitkan oleh CCF, dicetak di New Delhi, India tahun 1961.


Dari kiri ke kanan Achdiat Karta Mihardja, Sutan Takdir Alisyahbana, Beb Vuyk, Mochtar Lubis, Siti Nuraini, Fari (anak dari Achdiat dan Tati Suprati Noor), dan Tati Suprati Noor. Foto ini diambil oleh Richard Wright. Sumber: Beinecke Rare Book dan Manuscript Library, Yale University.

Artikel ceramah Richard Wright “American Negro Writing” yang disampaikan di depan anggota Studi Klub Konfrontasi di villa Sutan Takdir, Tugu, Puncak Bogor pada tanggal 1 Mei 1955 dimuat dalam nomor 6 edisi Mei—Juni 1955. Selama di Indonesia Richard Wright memberi tiga kali ceramah. Pertama pada tanggal 14 April di rumah pribadi walikota kepada organisasi seni dan pegiat budaya. Kedua untuk Studi Klub Konfrontasi, dan terakhir pada tanggal 2 Mei di Balai Budaya untuk anggota PEN Klub dan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Seperti pesan Josselson, Richard Wright terhubung dengan anggota Klub PEN Indonesia.


Beb Vuyk sebagai sekretaris redaksi bertugas mengundang Richard Wright. Seperti yang ia ceritakan dalam artikelnya “Weekeinde met Richard Wright” (Akhir Pekan Bersama Richard Wright) yang terbit di majalah berita mingguan Belanda, Vrij Nederland edisi 19 tanggal 19 November dan edisi 8 tanggal 26 November 1960.


Setelah itu, Konfrontasi sering memuat terjemahan berbagai karya sastra dan esai yang berhubungan dengan CCF, semisal dari majalah Preuves dan ceramah dari konferensi CCF yang kontekstual. Keterlibatan majalah ini dalam Perang Dingin kebudayaan sangat kentara ketika menerbitkan artikel penulis Uni Soviet, Arkadii Gaev berjudul “Kesusastraan Sebagai Suatu Senjata Dalam Perang Dingin” yang terbit pada nomor senjakala Konfrontasi.


Wakil CCF di Indonesia

Sutan Takdir dan Mochtar Lubis juga tercatat sebagai “panitia sementara” CCF Asia Tenggara di Jakarta, tulis peneliti Australia David T. Hill dalam Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi kritis Mochtar Lubis (1922—2004) sebagai pemimpin redaksi dan pengarang (2011). Organ resmi CCF tidak dibentuk di Indonesia. Peserta dalam lingkaran longgar CCF Indonesia ini antara lain, Soedjatmoko, Wiratmo Soekito, P. K. Ojong, dan Rosihan Anwar. Nama-nama ini adalah anggota atau cenderung berpihak pada Partai Sosialis Indonesia.


Mantan redaksi Konfrontasi, Achdiat Karta Mihardja juga pernah berkorespondensi dengan pendiri Encounter. Pada tahun 1954 Achdiat pernah menyurati pendiri dan editor majalah CCF Encounter, Stephen Spender yang berencana pergi ke Australia. Ia menyarankan Stephen Spender untuk mampir ke Indonesia. Ketika Richard Wright datang ke Indonesia, ia menjabat sebagai ketua Klub PEN Indonesia yang menjadi tuan rumah penulis novel Native Son itu.


Mochtar Lubis, Sutan Takdir, Richard Wright, dan Achdiat berada di jaringan CCF. Dalam catatan perjalanan yang dimuat Encounter bertajuk “Indonesian Notebook” dan dalam buku The Color Curtain, Richard Wright menulis seolah ia baru saja mengetahui soal Mochtar Lubis dan intelektual Indonesia lainnya. Tapi fakta berbicara lain, direktur CCF Michael Josselson lah yang menghubungkan mereka.


Kartu Pers Richard Wright untuk KAA

Pemerintahan Sukarno dengan model pemerintahan Demokrasi Terpimpin menekan kebebasan ekspresi pengarang dan wartawan, puncaknya adalah pembredelan harian Indonesia Raya dan penggembosan Manifes Kebudayaan. PSI dituding berada di balik PRRI-Permesta oleh karenanya orang-orang yang beririsan dengan partai ini ditahan. Sutan Takdir menjadi eksil di Amerika dan Mochtar Lubis menjadi tahanan politik—bersamaan dengan ini, majalah Konfrontasi pun mandek.


Pada bulan November 1960, saat Mochtar Lubis menjadi tahanan rumah, ia dikunjungi oleh Frode Jakobsen, seorang anggota parlemen Denmark dan anggota CCF. Ia membawa naskah Senja di Jakarta yang ditulis Mochtar Lubis. Novel ini lalu diterjemahkan oleh jurnalis Amerika, Claire Holt menjadi Twilight in Jakarta. Terjemahan ini pada tahun 1963 diterbitkan penerbit Hutchinson di London dan oleh Vanguard di Amerika. Dengan ini, meminjam ungkapan David T. Hill, Mochtar Lubis menjadi pengarang Indonesia pertama yang berbicara ke dunia.


Penerbitan yang dibantu CCF itu cocok dengan kampanye CCF soal pengekangan kebebasan pengarang yang menimpanya. Ditambah waktu itu, pemerintahan Sukarno tengah kelimpungan menjalankan Demokrasi Terpimpin, dan Partai Komunis Indonesia sedang naik daun. Strategi ini, serupa dengan upaya CIA menyelundupkan novel Dr. Zhivago karya Boris Pasternak keluar dari Uni Soviet. Meski Twilight in Jakarta tidak sesukses itu.


Pasca Gestok yang menyingkirkan Sukarno dari kekuasaan, terjadi penahanan tanpa peradilan dan pembunuhan massal terhadap orang-orang dituduh sebagai bagian dari PKI. Musuh-musuh politik kebudayaan Mochtar Lubis di garis Lembaga Kebudayaan Rakyat yang dicap berafiliasi dengan PKI seketika dibungkam oleh Orde Baru. Para pengarang Manifes Kebudayaan yang sebelumnya ditekan muncul kembali ke permukaan.


Pada 24 Juni 1966 Mochtar Lubis menulis surat kepada direktur CCF Michael Josselson soal rencananya menerbitkan sebuah majalah yang mirip dengan Encounter. Majalah yang sedang didiskusikan bersama agen CIA itu adalah majalah sastra Horison. Dalam surat itu Mochtar Lubis berharap bahwa Horison dapat, “memiliki hubungan yang dekat dengan terbitan-terbitan CCF—membantu satu sama lain dengan materi editorial, dll.”


Jejak CCF dan Konfrontasi terlihat jelas dalam artikel-artikel yang dimuat. Jejak keterlibatan organ anti-komunis ini lebih kentara dalam majalah sastra Horison. Peneliti Giles Scott-Smith dari Leiden University dan Charlotte A. Lery dalam artikel pembukaan bunga rampai Campaigning Culture and the Global Cold War: The Journal of the Congress for Cultural Freedom (2017) juga menyebut Horison sebagai salah satu majalah yang ditajai oleh CCF. Horison juga memuat cerpen-cerpen yang menurut peneliti Wijaya Herlambang (2013), turut menormalisasi kekerasan terhadap orang-orang komunis.


Penghubung CCF dengan redaksi Horison adalah Ivan Kats. Namanya tercatat dalam Yayasan Indonesia bersama Mochtar Lubis, Goenawan Mohamad, Taufik Ismail dkk. Yayasan inilah yang menaungi penerbitan majalah Horison. Ivan Kats juga menjadi koordinator majalah-majalah CCF di Jepang, Australia, dll. Duet Mochtar Lubis dan Ivan Kats bersama yang lain juga mendirikan Yayasan Pustaka Obor Indonesia yang menerjemahkan karya sastra dunia.


Alasan Ivan Kats mendirikan Obor Inc. yang berkantor di New York, seperti yang ia tulis dalam artikelnya “The story of the Obor Foundation: Can an Indonesian experience be replicated?” yang terbit di jurnal Logos tahun 1991 itu kurang lebih senada dengan gambaran Richard Wright dalam “Indonesian Notebook”.


Richard Wright menggambarkan wajah Indonesia sungguh buruk. Ia meminjam karakter Mochtar Lubis untuk menyampaikan narasi tersebut. Perbincangan di dalam mobil dari Bandara, yang memotret keadaan sosial Jakarta berusaha memperlihatkan gambaran utuh Indonesia dari luar. Citra itu kurang lebih mengabarkan tentang buruknya pendidikan, kesehatan, tingkat literasi, dan segala hal yang menjadi stigma negara dunia ketiga.


Wajah Indonesia dalam Majalah CCF

Citra para intelektual Indonesia dalam artikel Richard Wright digambarkan sebagai orang-orang yang masih terjebak rasa rendah diri berkat sejarah penjajahan. Untuk menampilkan gambar itu, Richard Wright mengutip pernyataan rasis yang menyebut Jepang sebagai ‘monyet kuning’. Ia memang tidak langsung menyebut nama intelektual Indonesia itu, tapi dari ciri yang ia tulis, sosok yang dimaksud dapat diidentifikasi sebagai Sutan Takdir Alisyahbana.


Dalam The Color Curtain (1956) pribadi Sutan Takdir Alisyahbana yang ditulis sebagai Mr. X juga digambarkan masih terjebak rasa rendah diri jika berhadapan dengan orang kulit putih. Padahal, Sutan Takdir “lebih Barat daripada orang Barat”. Lebih jauh, secara tersirat Richard Wright mencoba mengatakan keadaan Indonesia yang bobrok itu akan menjadi lebih buruk jika jatuh dalam ideologi komunisme.


Seperti yang disebut di awal, Mochtar Lubis melayangkan protes terhadap artikel itu. Richard Wright menyarankan penulis novel Jalan Tak Ada Ujung ini untuk membaca catatan perjalanannya yang lebih panjang, yang akan terbit sebagai sebuah buku. Buku yang ia maksud adalah The Color Curtain (1956). Empat tahun setelah terbitnya buku itu Beb Vuyk menulis memoarnya bersama Richard Wright.


Sama seperti yang dilakukan oleh Wright, keterangan faktual catatan Beb Vuyk juga patut diragukan. Tujuan catatan ini adalah untuk memberi tinjauan dari sudut pandang yang lain mengenai informasi-informasi yang dipelintir oleh Richard Wright.


Cerita soal ‘monyet kuning’ itu menurut catatan Beb Vuyk keluar dari mulut Sitor Situmorang yang waktu itu bercerita tentang seorang kepala desa yang menyebut Jepang sebagai ‘monyet kuning’. Richard Wright pun luput memahami horornya pendudukan pemerintah fasis Jepang pada Perang Dunia II. Memoar Beb Vuyk itu juga dipenuhi anekdot lucu. Ia menceritakan bahwa Richard Wright memperkenalkan dirinya sebagai ‘Dick’. Panggilan yang berasosiasi dengan kelamin laki-laki ini juga merupakan karangan Beb Vuyk.


Richard Wright marah ketika M. De Sablonière, sahabat sekaligus penerjemah karyanya dalam bahasa Belanda, mengabarkan berita ini. Ia merasa tidak pernah mengucapkan itu. Kemarahan ini serupa emosi Mochtar Lubis yang juga merasa tidak pernah mengucapkan narasi yang ditulis Richard Wright.


Catatan perjalanan Rihard Wright yang dimuat dalam majalah-majalah CCF adalah pesanan. Meskipun keadaan Indonesia pada waktu itu mungkin memang buruk, tapi dramatisasi keadaan memang dibutuhkan untuk menarik simpati pembaca. Alasan-alasan itu dapat menjadi pembenaran infiltrasi CCF untuk masuk ke Indonesia, memberi bantuan, atas dasar kemanusiaan yang palsu.


Narasi kebobrokan Indonesia itu menjadi alasan dasar bantuan CCF pasca 1965. Narasi itu dapat dibaca dari tulisan Ivan Kats yang menceritakan soal Obor, “Pada 1967, Indonesia sangat bangkrut. Inflasi menyentuh angka 600%. Sebagian besar fungsi kehidupan nasional morat-marit.” Intinya negara bobrok ini harus ditolong.


Dari kiri ke kanan: tidak diketahui, Mochtar Lubis dan Ivan Kats. Sumber: Box 12, Series VI, Ivan Kats Papers, MS 2048, Manuscripts and Archives, Yale University Library

Sebelum pembersihan komunis, ia mengirim buku-buku kepada para tahanan politik oposisi pemerintah di penjara Madiun, Jawa Timur. Lalu, CCF mengirim buku kepada 100 penerima manfaat yang berada di penjara atau pun yang masih bebas. Goenawan Mohamad adalah orang yang membantu Ivan Kats menyusun daftar orang-orang penerima majalah CCF seperti Encounter dan China Quarterly, tulis peneliti Janet Steele dalam Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia (2014).


Segala fakta yang berlawanan dari balas-membalas Beb Vuyk dan Richard Wright serupa seperti gagasan Melvin J. Lasky redaktur majalah CCF Der Monat di Jerman, “Daya tarik artikel-artikel kontroversial atau artikel-artikel yang membuat kontroversi yang mengundang diskusi dan serangan balik.”


Kenyataan yang saling berlawanan ini mengingatkan saya dengan “pleidoi” Goenawan Mohamad terhadap artikel Martin Suryajaya di Indoprogress: serba kebetulan. Kenyataan Ivan Kats sebagai salah satu orang CCF yang tahu aliran dana CIA bisa disangkal, selama masih belum ada penelitian mendalam tentangnya. Tapi, fakta ia sebagai gurita perbukuan tidak dapat ditampik.


Pertanyaannya, mengapa Ivan Kats baru terang-terangan masuk ke lingkaran intelektual Indonesia setelah 1965? Saya dapat membayangkan jawabannya serupa, karena kondisi politik pada masa pemerintahan Sukarno tidak stabil. Lantas, apakah setelah pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan PKI dan kudeta merangkak terhadap Sukarno yang didukung oleh CIA membuat kondisi politik Indonesia menjadi stabil?


Saya jauh lebih muda dari Martin Suryajaya, pemahaman saya soal sejarah pada masa itu, seperti kata Goenawan Mohamad, mungkin terdistorsi. Tapi singkapan pembacaan saya soal jejak CCF di Indonesia sebelum 1965, khususnya balas-membalas Richard Wright dan Beb Vuyk itu membuat saya ragu dengan cerita Goenawan Mohamad. Sama seperti ingatan Beb Vuyk dan Richard Wright, bisa jadi tulisan Goenawan Mohamad berdasarkan ingatannya itu sekadar bualan belaka.

0 comments:

Posting Komentar