Kelana Wisnu is a multi-award winning investigative journalist, writer, and filmmaker. Using collaborative methods, technology, and various multimedia, his work—published across numerous outlets in Southeast Asia—focuses on the intersection of human rights, transnational crime, environment, conflict, colonialism, and technology.
Kelana Wisnu's Role: Producer, Director, Screenwriter, Camera Person, Video Editor, OSINT Researcher, Reporter, Translator
This
investigative documentary reveals a transnational criminal network
involving the Chinese mafia, politicians, the military junta, and armed
groups. They are allegedly implicated in operations including scam
compounds, online gambling, and other interconnected crimes against
humanity along the Myanmar-Thailand border.
Over 120,000 people
are trapped in forced labor for online fraud, enslaved in digital
slavery with false job promises. Our team infiltrated the criminals'
digital network, tracked their coordinates, and mapped the key players,
sneaking into the transnational crime hub in Shwe Kokko, Myanmar. We
encountered Indonesian victims who escaped from Shwe Kokko and exposed
the broader global criminal network using open-source investigative
research.
From the Phu Inn Hotel in Mae Sot, Thailand, to Shwe
Kokko, Myanmar, we uncover how online gambling and scam proceeds
allegedly fund the military junta. This documentary reveals scam and
cybercrime centers in Southeast Asia, such as Shwe Kokko and KK Park,
where victims face torture and death for non-compliance. Our findings
show that many scam compounds are interconnected through illicit
connections among various actors.
Amidst Shwe Kokko's glitzy
facade lies a dark reality. With fearless journalism, we expose the most
responsible actors for the heinous acts behind this global crisis.
Watch our investigation to uncover the hidden crimes against humanity
behind technological brilliance.
Artikel ini dimuat di Tengara: Situs Kritik Sastra, Dewan Kesenian Jakarta, Edisi 3. Kutipan pengantar editorial "Kelindan Dua Kembaran":
Dalam bentuknya yang langsung, kesejarahan
teks mengemuka ketika kita menjadikan sastra sebagai dokumen sejarah.
Inilah yang tecermin dalam tengara.id edisi ketiga, antara lain dalam rubrik Marginalia yang memuat ulasan Kelana Wisnu Sapta Nugraha atas buku Sastra dan Sejarah Indonesia: Tiga Belas Karangan karya Henri Chambert-Loir.
Ia menelusuri kajian Chambert-Loir mengenai novel-novel Mas Marco
Kartodikromo dan Louis Couperus serta sejumlah sastra eksil yang
memperlihatkan betapa bergunanya karya sastra sebagai sumber sejarah.
Namun, di sisi lain, Kelana juga mencatat bagaimana para sejarawan
bekerja seperti halnya pengarang fiksi: memilah dan memilih berbagai
sumber untuk menyarikan “sebuah abad ke dalam satu halaman”. Segi
selektif historiografi ini mendekatkannya dengan penulisan sastra
sehingga dalam arti tertentu sejarah pun tampil sebagai karya sastra.
Keterangan Buku
Judul : Sastra dan Sejarah Indonesia: Tiga Belas Karangan
Penulis : Henri Chambert-Loir
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Desember 2018
Melalui karya sastra, sejarawan dapat
menemukan lapisan cerita yang tidak terekam dalam arsip konvensional
atau sumber yang tidak dapat dijumpai di lapangan. Sastra dalam kategori
apa pun, baik lisan maupun tulisan, menyimpan emosi atau mentalitas
yang ditutur-tuliskan serta berguna sebagai pintu masuk untuk menelusuri
faset dari suatu masa yang “hilang”. Begitu pula hasil penelitian
sejarah, yang berguna bagi kritikus sastra untuk menggali konteks atau
menjadi ko-teks pembacaan suatu karya. Lantas, apakah kritik sastra
dapat memperluas atau memberi kontribusi terhadap penulisan sejarah?
Serangkaian temuan Henri Chambert-Loir yang terhimpun dalam buku Sastra dan Sejarah Indonesia: Tiga Belas Karangan,
saya kira, cukup menarik untuk menguraikan persoalan itu. Lantaran
beberapa temuannya merupakan penelitian perintis soal subjek yang
ditulis, semisal mengenai Mas Marco Kartodikromo. Dengan menyoroti
beberapa pernyataan atau strategi interpretatif Henri Chambert-Loir,
saya akan berfokus pada hubungan timbal balik antara kritik sastra dan
penulisan sejarah.
Sejak penulisan sejarah terpengaruhi
diskursus pascamodern, kategori arsip konvensional menjadi goyang dan
sastra pun menjadi subjek penelitian sejarah. Pergeseran itu, salah
satunya, ditandai dengan kemunculan artikel sejarawan Robert Darnton “Peasants Tell Tales: the Meaning of Mother Goose”
pada 1984 yang merujuk cerita rakyat Prancis yang dikumpulkan pada abad
ke-19 untuk menemukan pengalaman konkret yang dialami para petani.
Kemudian diikuti oleh perkembangan new historicism di Amerika
Serikat pada 1990-an. Melani Budianta dan Ismi Indriani, yang pertama
akademisi sastra dan yang kedua akademisi sejarah, adalah dua dari
sedikit peneliti yang melihat faset sejarah Indonesia di balik karya
sastra.[1] Meski subjek kajian sastra dan sejarah semakin mirip, kedua bidang ini tampaknya masih sukar bertegur sapa.
Saya berusaha membuka obrolan tentang persinggungan sastra dan sejarah lewat dua artikel yang mengapit Sastra dan Sejarah Indonesia,
yang diawali dengan tinjauan kehidupan tokoh serta ulasan karya-karya
sastra antikolonial Mas Marco Kartodikromo (1890–1932), dan diakhiri
dengan pembahasan salah satu novel karangan penulis Belanda Louis
Couperus, Kekuatan Terpendam (1900). Untuk menyinggung soal
ingatan dan sejarah, saya menyingkap bahasan tentang sastra eksil dalam
buku ini, begitu pula menggambar suatu kemungkinan pembacaan paralel
dengan sejarah. Dari kedua pembacaan tersebut, saya mencoba membayangkan
pencarian dan penemuan ketidaksinambungan sejarah lewat kritik sastra.
Menyisir Jaringan Kausalitas Sejarah Lewat Kritik Sastra
Mas Marco dan Louis Couperus adalah dua
contoh yang menunjukkan dampak dari modus klasifikasi sosial “rasial”,
yang menurut sosiolog Anibal Quijano merupakan bentuk dominasi
“kolonialitas kekuasaan”.[2]
Kemunculan sosok haji dalam dalam kisah magis kehancuran residen Van
Oudijk yang telah menghina seorang bupati Jawa itu digarisbawahi oleh
Chambert-Loir sebagai perlambang ketakutan terhadap gerakan Islam (hlm.
294). Benar saja, delapan belas tahun setelah Kekuatan Terpendam (De Stille Kracht)
terbit di Belanda, Marco yang tumbuh dari dan bersama wartawan serta
gerakan Sarekat Islam–kemudian pecah menjadi Sarekat Islam Merah, yang
menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia (hlm. 4)–menerbitkan
cerbung Student Hidjo dalam surat kabar Sinar Hindia.
Prasangka rasial yang dibangun di atas sistem pembedaan sosial kolonial terinternalisasi dalam kebencian tokoh utama novel Kekuatan Terpendam
terhadap orang-orang Indo, yang berdarah campuran Belanda-pribumi Jawa.
Menurut Chambert-Loir, kebencian tersebut turut dipengaruhi oleh sikap
sebagian kaum Indo yang mendorong kemunculan Politik Etis (hlm. 300),
pergeseran politik pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang memungkinkan
gerakan kebangkitan nasional. Pembedaan gender juga berpangkal dalam
logika rasial, yang berpusar pada penglihatan terhadap tubuh manusia
untuk menjustifikasi superioritas biologis. Istri tokoh utama, Léonie,
yang ditampilkan sebagai perempuan yang buruk dan merupakan salah satu
sumber masalah dalam novel tersebut, menggambarkan proyeksi pandangan
laki-laki Belanda terhadap perempuan sebangsanya yang tinggal di tanah
jajahan. Pokok menarik lain dari novel Kekuatan Terpendam adalah kisahnya berfokus pula “tentang masyarakat kolonial dengan adat kebiasaannya dan lapisan-lapisannya.” (hlm. 293)
Di sisi lain, Chambert-Loir berpendapat
bahwa novel-novel Marco dalam praktiknya tidak menggambarkan perjuangan
antarkelas, “melainkan perjuangan nasionalis, bahkan mungkin hanya
perjuangan rasial” (hlm. 9). Sebab tulisnya, alih-alih melibatkan semua
kelas yang terpinggirkan dalam perjuangan menentang kapitalisme
kolonial, dikotomi pandangan kelas masyarakat dalam karya Mas Marco
hanya menyebut pengemis sebagai kelas proletar dan semua orang Belanda
sebagai kapitalis, orang Tionghoa maupun Indo tidak pernah disinggung.
Nasionalisme Marco pun, menurutnya, terbatas pada Pulau Jawa saja.
Jika meletakkan karya Marco yang terbit
dalam rentang tahun 1914–1924 dalam linimasa perkembangan kebangkitan
nasionalisme Indonesia, tampaknya lebih adil jika keterbatasan soal
imajinasi nasion itu ditempatkan pada pengertian nasionalisme regional.
Sebelum pecah pemberontakkan PKI pada 1926–1927, yang disusul dengan
Sumpah Pemuda 1928, keindonesiaan memang belum terbentuk sepenuhnya.
Namun, justru yang menarik adalah gagasan Marco, yang dipetik oleh
Chambert-Loir dari Matahariah, soal strategi untuk memantapkan
pengetahuan akan sosialisme. Tokoh utama dalam novel tersebut mengatakan
bahwa salah satu strategi untuk memperluas pemahaman politik adalah
dengan pergi ke luar negeri dan membaca buku.
Singkapan atas karya Marco menekankan
perihal mobilisasi, pertukaran, serta interaksi gagasan politik. Ketiga
persoalan itu tergambarkan dalam adegan akhir Kekuatan Terpendam yang
mengisahkan kedatangan sekelompok haji dari Mekah di stasiun suatu desa
di Jawa Barat. Pembacaan interpretatif Chambert-Loir terhadap kedua
karya tersebut menekankan pentingnya kritik sastra bagi penulisan
sejarah, semisal untuk menguraikan ketakutan atau prasangka rasial
orang-orang Belanda yang tergambar dalam karya sastra.
Strategi pembacaan dalam kedua teks
tersebut adalah menggali kemungkinan makna kontradiktif
sebanyak-banyaknya, selazimnya kritik sastra. Temuan atas pembacaan
karya tersebut bagi sejarawan, yang terlatih dalam membangun dan
menjalin cerita, bermanfaat untuk menjadi sebuah simpul pengait
cerita-cerita lain yang serupa untuk membentuk suatu pola yang mungkin
ditelaah. Menurut sejarawan Sarah Maza, kritikus sastra memang terbiasa
dengan pola tunggal, sedangkan sejarawan lebih mencari pola yang jamak
dan umum.[3]
Yang tak kalah menarik adalah pendapat
Chambert-Loir soal kemungkinan bahwa Marco dipengaruhi Multatuli. Dari
kesaksian teman-temannya, Marco tidak fasih dan benar-benar menguasai
bahasa Belanda meski sempat mempelajarinya. Lantas dari mana dia bisa
membaca atau terpengaruh suatu karya yang baru diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia seabad kemudian? Pertanyaan lebih lanjut yang masih
menggantung adalah, apa yang dilakukan Marco selama lima bulan di Den
Haag pada 1915, dan mengapa ia ditahan oleh pemerintah kolonial
sepulangnya dari sana? Serangkaian pertanyaan ini bukan bermaksud
menafikan atau menginterogasi temuan artikel Chambert-Loir, melainkan
berusaha membayangkan pertanyaan yang mungkin muncul dalam benak
sejarawan yang tertarik soal keterhubungan dan integrasi.[4]
Kemudian, mengingat bahwa Louis Couperus mengirim semacam surat proposal penulisan Kekuatan Terpendam
kepada penerbit, apakah produksi wacana soal ketakutan akan gagasan
Pan-Islamisme dalam novel-novel Belanda berhubungan atau beririsan
dengan misi Indologi untuk memahami suatu kekuatan politik yang dibawa
oleh para haji yang pulang dari Mekah itu? Kemunculan pertanyaan
tersebut menambah daftar panjang hubungan kausalitas sejarah yang dapat
ditelusuri lebih lanjut, terutama berkaitan dengan pembentukan pembedaan
rasial pada awal abad ke-20, sehingga pembacaan atas kritik dan karya
sastra, tentu saja, menarik untuk dikembangkan dalam penulisan sejarah.
Mengingat pembacaan kritik sastra dapat
menyingkap suatu pola suatu zaman yang terbangun dalam jalinan narasi,
serta dapat menjadi acuan membangun jaringan kausalitas sejarah yang
lebih luas, para sejarawan bisa mengumpulkan, mengklasifikasikan,
memilah serta memilih fakta. Pembacaan kritik maupun karya sastra
tersebut, tentu saja, ditempatkan dalam serangkaian peristiwa dan
berhadapan dengan kegigihan dalam melakukan verifikasi. Namun, di luar
itu perlu dicatat juga bahwa intertekstualitas dan studi resepsi pembaca
yang diterapkan dalam kritik sastra, metode yang tampaknya juga
diterapkan dalam beberapa artikel dalam bunga rampai Chambert-Loir,
memiliki pengaruh besar bagi sejarawan.
Internalisasi Politik Ingatan dalam Sastra Eksil
Dalam artikel “Terkunci di Luar”,
Chambert-Loir menelusuri salah satu babak dalam sastra Indonesia, yakni
sastra eksil Indonesia pasca-1965. Sastra eksil menurutnya bukanlah
suatu genre, melainkan terutama merujuk ke “tulisan-tulisan pengarang
Indonesia yang terpaksa tinggal di negeri asing karena alasan politik”
setelah genosida 1965-1966; dan mencakup semua karya tulis, “bukan hanya
yang berciri susastra” (hlm. 71-72, 78). Definisi yang dibentuk dengan
manasuka ini juga mencirikan tujuan sastra eksil yang berusaha
memberikan versi sejarah dan sikap kesejarahan alternatif, sebagai
penantang narasi sejarah propaganda Orde Baru. Meski demikian, yang
berkaitan dalam bahasan ini adalah soal percampuran antara fiksi dan
realitas dalam karya sastra eksil, seperti yang ditulis oleh Asahan
Aidit.
Hubungan antara fakta dan fiksi ini
juga menggarisbawahi pernyataan Asahan bahwa otobiografi maupun biografi
tidak terlepas dari elemen fiksi atau fantasi. Dengan pemahaman yang
serupa bahwa tidak ada penggambaran atas kenyataan (mimesis)
yang persis, Ibarruri pun menyebut memoarnya sebagai “roman biografis”.
Beberapa eksil juga menyatakan bahwa mereka tidak bermaksud menuliskan
sejarah, tetapi berniat mengisahkan pengalaman mereka (hlm. 92-93).
Terlepas dari ketegangan antara fiksi dan kenyataan, saya membaca
sorotan tersebut sebagai pijakan reflektif atas salah satu pertanyaan
yang ditinggalkan dalam penutup artikel ini, yakni di mana tempat sastra
eksil dalam sastra Indonesia?
Meski sastra eksil diselubungi dengan
beberapa kerahasiaan, khususnya kegiatan yang mereka lakukan selama di
negara-negara sosialis, Chambert-Loir mencatat signifikansi karya-karya
tersebut sebagai dokumentasi sejarah. Oleh karena sastra eksil berkaitan
dengan ketegangan ingatan, sejarah dan politik, maka posisinya dalam
sastra Indonesia dapat ditempatkan dalam kategori sastra transnasional.
Meski perlu dicatat bahwa pengertian tersebut berbeda dengan sastra
solidaritas transnasional yang muncul bersama dengan sastra baku tempur,[5]
sastra revolusioner, dan sastra nasional pada masa Demokrasi Terpimpin.
Jika mengacu pada definisi sastra transnasional yang dicetuskan oleh
Paul Jay, produksi sastra eksil melampaui batas-batas ruang geografis
atau nasion sebagai imajinasi politis.
Kepekaan kesejarahan dalam sastra eksil
berada di tengah kesadaran menulis sejarah untuk masa depan, dan dalam
beberapa kasus bertujuan mewariskan ingatan kepada keluarga. Begitulah
sifat sastra transnasional yang begitu terlibat dengan sejarah untuk
menawarkan eksplorasi kritis atas berbagai peristiwa penting secara
luas.[6]
Meski pada akhirnya dibayangi oleh tegangan subjektivitas-objektivitas,
penulisan otobiografi dan memoar, menurut Chambert-Loir, berusaha
menemukan koherensi dari kisah kehidupan pribadi dalam patahan tragedi
sejarah 1965. Ketegangan antara sejarah dan kehidupan seorang manusia
adalah kekhasan sastra eksil.
Terlepas dari kedua persoalan itu, seni
kerahasiaan dalam penulisan sastra eksil justru membuat saya berpikir,
apakah keterbatasan sumber sejarah dapat dijembatani oleh karya sastra?
Mengingat menurut Chambert-Loir, suatu patahan yang tidak banyak
dikisahkan oleh para pengarang sastra eksil adalah kehidupan budaya
mereka. Patahan lain yang terlewat sebab jarang diceritakan dalam
memoar, khususnya oleh para eksil yang terjebak di Cina setelah G30S,
adalah penjelasan mengenai produksi puisi-puisi yang memuja Mao Zedong
dan keterlibatan orang-orang Indonesia dalam Konferensi Darurat
Pengarang Asia-Afrika pada 1966 di Beijing.
Seperti yang dikemukakan dalam buku
ini, dinamika sosial para pengarang sastra eksil berkaitan dengan
menurunnya solidaritas negara-negara sosialis pada puncak Perang Dingin,
yang juga ditandai dengan konflik antara Republik Rakyat Cina dan Uni
Soviet. Menarik bahwa Loir tidak mencatat puisi-puisi pengarang
Indonesia yang terhimpun dalam antologi Indonesian People Take Mao Tse-tung’s Road
(1968) yang diterbitkan oleh Biro Pengarang Asia-Afrika. Beberapa nama
pengarang dalam antologi tersebut seperti Z. Afif dan Sutojo sebelumnya
pernah diterbitkan dalam The Call: Bulletin of Afro-Asian Writers’ Bureau
pada tahun yang sama. Saya pikir pembacaan “sastra eksil” secara
paralel dengan puisi-puisi ini dapat menyingkapkan suatu faset yang
dapat dibaca “di antara” teks.
Saya sepakat bahwa memang banyak
kerahasiaan atau sesuatu yang ditutupi secara sengaja oleh para
pengarang tersebut. Proses mengingat dengan demikian menjadi begitu
politis, sebab ingatan yang ditulis tersebut telah dipilah-pilih. Oleh
karena itu, pembacaan sastra eksil secara struktural dapat menyingkap
suatu pola narasi yang dibangun para penulis. Strategi semacam itu dapat
menjembatani keterputusan narasi, menjejak lubang-lubang narasi yang
tertinggal–yang mungkin saja sengaja disembunyikan atau tertunda untuk
diceritakan–serta menemukan keterkaitannya satu sama lain. Dengan
demikian, strategi pembacaan dekat terhadap karya sastra dapat berguna
sebagai pengayaan tentang kajian memori dan sejarah. Selain itu,
pembacaan paralel dengan ko-teks seperti “dokumen” sejarah juga dapat
memberikan interpretasi lain mengenai suatu peristiwa.
Semisal, berkaca pada penulusuran saya yang terbatas, saya belum menemukan pernyataan terbuka di media Lekra semisal Harian Rakjat atau Zaman Baru
perihal penundaan Konferensi Pengarang Asia-Afrika III di Jakarta pada
1964, yang sudah dipersiapkan sejak Sidang Eksekutif KPAA di Jakarta dan
Denpasar pada 1963. Rencana itu gagal akibat delegasi Biro KPAA di
Kolombo, Rivai Apin, Hersri Setiawan[7]
serta ketua Komite Nasional KPAA Indonesia Pramoedya Ananta Toer
ditahan tanpa peradilan dan diasingkan ke Pulau Buru. Namun, dari
pembacaan terhadap puisi-puisi mengenai solidaritas transnasional
menjelang 1965, saya mendapatkan kesan bahwa perpecahan politis antara
Cina dan Uni Soviet yang berpengaruh dalam gerakan menjadi salah satu
alasan penundaan KPAA III. Oleh sebab itu saya bersepakat dengan
Chambert-Loir bahwa karya “sastra eksil” berguna sebagai dokumen
sejarah, untuk menjawab pertanyaan yang tidak tercatat dalam sumber
konvensional. Meski dengan catatan bahwa pembacaan interpretatif ini
perlu dilakukan dengan hati-hati dan cermat, juga sebisa mungkin
mengkonfirmasi temuan-temuan interpretatif itu dengan kesaksian atau
ingatan para orang-orang yang terlibat dalam suatu peristiwa.
Namun perlu juga dicatat bahwa definisi
manasuka yang diajukan oleh Henri Chambert-Loir, yang membatasi sastra
eksil pada generasi pertama yang terdampak Peristiwa 1965, terlalu
sempit dan tidak memungkinkan pemeriksaan atas sastra eksil sesudah
generasi pertama. Terlepas dari persoalan itu, artikel Chambert-Loir
menekankan pekerjaan rumah yang masih perlu dieksplorasi oleh para
peneliti sejarah/sastra Indonesia.
Indonesia
dan Sri Lanka menandatangani kesepakatan bersama. Kedua dari kiri dari
bawah adalah Rivai Apin, ketiga dari kiri di belakang adalah Hersri
Setiawan.
Artikel lain dalam bunga rampai ini
juga menunjukkan beberapa metode kritik sastra yang berguna bagi
penulisan sejarah. Semisal dalam “PKI Stroganoff: Novel Pulang Leila Chudori” yang menerapkan dua pendekatan, yakni studi resepsi dan studi parateks.[8] Pendekatan studi resepsi pembaca kini lebih mudah diterapkan. Hari ini, situs ulasan seperti Goodreads
atau ulasan di akun-akun media sosial personal menjadi medium kritik
yang penting. Akan tetapi pembacaan parateks rasanya masih kurang subur
dalam kritik sastra. Di Indonesia metode ini lebih banyak dipakai oleh
para sarjana filologi, semisal untuk meneliti catatan pinggir dalam
suatu naskah. Dengan menggunakan metode itu, tampaknya menarik untuk
mengunjungi perpustakaan pribadi seorang penulis, menyisir koleksi dalam
perpustakaan pribadinya, dan mengamati marjin buku yang menjadi “sumber
utama referensinya”. Siapa tahu kita juga dapat menemukan corat-coret
konyol seperti gambar Vladimir Nabokov dalam marjin buku karya Franz
Kafka.
Dalam sebuah penulisan sejarah sastra,
tentu saja, terselubung juga kritik terhadap karya-karya yang hadir,
meski sekilas ataupun terjalin dalam konteks sejarahnya. Kesan itulah
yang kira-kira saya rasakan ketika membaca beberapa artikel dalam Sastra dan Sejarah Indonesia: Tiga Belas Karangan.
Dari uraian di atas, kritik atau karya sastra penting bagi peneliti
sejarah untuk menggali sesuatu yang tidak terjelaskan atau dapat
ditemukan di dalam sumber di lapangan. Pembacaan interpretatif dalam hal
ini dapat menjadi jalan pintas untuk menjelaskan sesuatu hubungan
kausal yang memang tidak di/terjelaskan oleh manusia dalam sejarah.
Pokok yang menarik lain juga adalah
detail kecil, tetapi penting dalam beberapa artikel Chambert-Loir, yakni
himbauan untuk menjauhkan diri dari sudut pandang Erosentris dan mulai
memakai istilah “Selatan” untuk merujuk secara geopolitis wilayah yang
pernah terjajah oleh Eropa Barat. Sementara persimpangan politis antara
sastra dan sejarah, meminjam pengertian Pramoedya Ananta Toer,[9]
adalah untuk merevaluasi atau mendekolonisasi sejarah dalam segala
bidang yang selama ini didominasi pandangan Erosentris akibat
kolonialisme.
Memang, tampaknya sejarah dan sastra
perlu mengakrabkan diri. Sebab, mengutip sejarawan Prancis Paul Veyne
bahwa penulisan sejarah itu seperti sebuah novel: sejarawan maupun
pengarang bekerja dalam memilah, menyederhanakan, menyusun hingga
memasukkan “sebuah abad ke dalam satu halaman.”[10]
[1] Budianta, Melani. 2002. “In the Margins of the Capital: Tjerita Boedjang Bingoeng and Si Doel Anak Betawi” dalam Clearing a Space: Postcoloniality and Indonesian Literature, eds. Keith Foulcher and Tony Day, KITLV.; Indriani, Ismi. 2021. “Mencari Cinta pada Masa Pergerakan Nasional” dalam Jurnal Sejarah vol. 4, No. 1.
[2]Untuk
mendapatkan pengertian lebih lanjut tentang “kolonialitas kekuasaan”
‘coloniality of power’ lihat Quijano, Anibal. 2000. “Coloniality of
Power and Eurocentrism in Latin America” dalam International Sociology, 15(2), 215–217; (2007). “Coloniality and Modernity/Rationality” dalam Cultural Studies, 21:2-3.
[3] Maza, Sarah. 1996. “Stories in History: Cultural Narratives in Recent Works in European History” dalam The American Historical Review Vol. 101, No. 5. Hlm. 1509.
[4]
Lihat semisal uraian soal pemahaman akan keterhubungan dan intergrasi
dalam pendekatan sejarah global dalam Sebastian Conrad. 2016. What is Global History? Hlm. 90-114
[5] Istilah ini dipinjam dari esai Brigitta Isabella, “Keramahtamahan Antikolonial di Meja Keluarga Asia-Afrika”. Istilah
tersebut berasal dari pandangan Frantz Fanon soal kemunculan sastra
pascakolonial yang juga perlu terlibat dalam perjuangan antikolonial. “Littérature de combat, littérature révolutionnaire, littérature nationale.” Lihat Frantz Fanon (2002 [1961]: 211]) LesDamnés de la terre. Paris: La Découverte /Poche.
[6] Untuk uraian lebih lanjut mengenai sastra transnasional dalam versi ringkas dan sederhana lihat Jay, Paul. 2021. Transnational Literature: The Basic. Routledge.
[7] Lihat “Ceylon Writers Sign Joint Statements with Writers of Kenya & Indonesia” dalam The Call: Bulletin of Afro-Asian Writers’ Bureau.
September 1964. Kolombo Hlm. 7. Perlu dicatat bahwa ketika gerakan
pengarang Asia-Afrika terbelah antara kubu yang didukung Uni Soviet dan
Beijing, buletin The Call bersama dengan Biro Pengarang
Asia-Afrika pindah ke Beijing. Sedangkan Asosiasi Pengarang Asia-Afrika
berdiri di Kairo Mesir menerbitkan majalah Lotus.
[8] Istilah yang digunakan oleh Gerard Genette dalam bukunya Paratexts (1987) untuk menjelaskan teks-teks lain dalam sebuah buku, semisal blurb, sampul, kolofon, marginialia dll.
[9]
Toer, Pramoedya A. 1962. “Sastera harus militan melawan imperialisme
dan neo-kolonialisme: Singkatan pesan Ketua Panitia Nasional Pengarang
A.A., Pramoedya Ananta Toer, kepada KSAA ke 2 di Kairo” Harian Rakjat, 17 Februari 1962.
[10] “Comme le roman, l’histoire trie, simplifie, organise, fait tenir un siècle en une page.”
‘Seperti novel, sejarah memilah, menyederhanakan, mengatur, dan
membungkus [fakta dalam] sebuah abad ke dalam satu halaman. Veyne, Paul.
1971. Comment on écrit l’histoire. Essai d’épistémologie. Paris: Seuil.
Artikel ini bertujuan menjadikan musik sebagai sumber penulisan sejarah untuk melihat dinamika kekerasan antikomunis di Indonesia. Dengan mengandalkan sumber-sumber musik tertulis pada masa kekerasan, seperti partitur lagu, memoar, termasuk lagu yang telah direkonstruksi, artikel ini mencoba membangun serta menginterpretasikan kembali tanggapan internal para penyintas pada periode kekerasan. Dalam rangka menguraikan tanggapan tersebut, artikel ini terbagi dalam empat bagian. Keempat bagian yang selalu menyajikan lagu-lagu beserta kegiatan musik ini pertama-tama berfokus pada respons penyintas dalam konteks regional; kemudian mengkategorikan fungsi lagu yang dinyanyikan atau ditulis di penjara bagi komunitas penyintas; dan bagaimana keadaan mental penyintas terinternalisasi dalam nada-nada dalam lagu-lagu itu; Keempat, artikel ini juga meninjau pengaruh perubahan temporal serta geografis terhadap fungsi bermusik serta produksi lagu-lagu tersebut.Kata kunci:musik, lagu, kekerasan antikomunis
Abstract
This article examines the dynamics of anti-communist violence in
Indonesia through music as a source of historical writing. By relying on
written records of music during times of violence, such as music
scores, memoirs, and reconstructed songs, this article attempts to build
and reinterpret the internal responses of survivors during the period
of violence. In four sections, this article expounds on these responses.
Within each, this article constantly features songs and musical
activities: first by discussing the survivors' responses within a
regional context; after which categorizing the function of songs sung or
written in prison for the survivors' community; and examining how the
mental state of the survivors is internalized in the tunes of the songs;
finally, this article also discusses the effect of temporal and
geographical changes on the musical function and production of these
songs.
How to Cite
Nugraha, K. (2021). Bersenandung di Tengah Badai : Musik dalam Dinamika Kekerasan Antikomunis. Jurnal Sejarah, 4(2), 17–45. https://doi.org/10.26639/js.v4i2.62