Sastra di Persimpangan Penulisan Sejarah

POTRET HUKUM ISLAM DI RANAH BORNEO KLASIK | Jurnal Toddoppuli

 

Artikel ini dimuat di Tengara: Situs Kritik Sastra, Dewan Kesenian Jakarta, Edisi 3.  Kutipan pengantar editorial "Kelindan Dua Kembaran": 

Dalam bentuknya yang langsung, kesejarahan teks mengemuka ketika kita menjadikan sastra sebagai dokumen sejarah. Inilah yang tecermin dalam tengara.id edisi ketiga, antara lain dalam rubrik Marginalia yang memuat ulasan Kelana Wisnu Sapta Nugraha atas buku Sastra dan Sejarah Indonesia: Tiga Belas Karangan karya Henri Chambert-Loir. Ia menelusuri kajian Chambert-Loir mengenai novel-novel Mas Marco Kartodikromo dan Louis Couperus serta sejumlah sastra eksil yang memperlihatkan betapa bergunanya karya sastra sebagai sumber sejarah. Namun, di sisi lain, Kelana juga mencatat bagaimana para sejarawan bekerja seperti halnya pengarang fiksi: memilah dan memilih berbagai sumber untuk menyarikan “sebuah abad ke dalam satu halaman”. Segi selektif historiografi ini mendekatkannya dengan penulisan sastra sehingga dalam arti tertentu sejarah pun tampil sebagai karya sastra.


Keterangan Buku

Judul              : Sastra dan Sejarah Indonesia: Tiga Belas Karangan

Penulis           : Henri Chambert-Loir

Penerbit         : Kepustakaan Populer Gramedia, Desember 2018

 

Melalui karya sastra, sejarawan dapat menemukan lapisan cerita yang tidak terekam dalam arsip konvensional atau sumber yang tidak dapat dijumpai di lapangan. Sastra dalam kategori apa pun, baik lisan maupun tulisan, menyimpan emosi atau mentalitas yang ditutur-tuliskan serta berguna sebagai pintu masuk untuk menelusuri faset dari suatu masa yang “hilang”. Begitu pula hasil penelitian sejarah, yang berguna bagi kritikus sastra untuk menggali konteks atau menjadi ko-teks pembacaan suatu karya. Lantas, apakah kritik sastra dapat memperluas atau memberi kontribusi terhadap penulisan sejarah? Serangkaian temuan Henri Chambert-Loir yang terhimpun dalam buku Sastra dan Sejarah Indonesia: Tiga Belas Karangan, saya kira, cukup menarik untuk menguraikan persoalan itu. Lantaran beberapa temuannya merupakan penelitian perintis soal subjek yang ditulis, semisal mengenai Mas Marco Kartodikromo. Dengan menyoroti beberapa pernyataan atau strategi interpretatif Henri Chambert-Loir, saya akan berfokus pada hubungan timbal balik antara kritik sastra dan penulisan sejarah.

Sejak penulisan sejarah terpengaruhi diskursus pascamodern, kategori arsip konvensional menjadi goyang dan sastra pun menjadi subjek penelitian sejarah. Pergeseran itu, salah satunya, ditandai dengan kemunculan artikel sejarawan Robert Darnton “Peasants Tell Tales: the Meaning of Mother Goose” pada 1984 yang merujuk cerita rakyat Prancis yang dikumpulkan pada abad ke-19 untuk menemukan pengalaman konkret yang dialami para petani. Kemudian diikuti oleh perkembangan new historicism di Amerika Serikat pada 1990-an. Melani Budianta dan Ismi Indriani, yang pertama akademisi sastra dan yang kedua akademisi sejarah, adalah dua dari sedikit peneliti yang melihat faset sejarah Indonesia di balik karya sastra.[1] Meski subjek kajian sastra dan sejarah semakin mirip, kedua bidang ini tampaknya masih sukar bertegur sapa.

Saya berusaha membuka obrolan tentang persinggungan sastra dan sejarah lewat dua artikel yang mengapit Sastra dan Sejarah Indonesia, yang diawali dengan tinjauan kehidupan tokoh serta ulasan karya-karya sastra antikolonial Mas Marco Kartodikromo (1890–1932), dan diakhiri dengan pembahasan salah satu novel karangan penulis Belanda Louis Couperus, Kekuatan Terpendam (1900). Untuk menyinggung soal ingatan dan sejarah, saya menyingkap bahasan tentang sastra eksil dalam buku ini, begitu pula menggambar suatu kemungkinan pembacaan paralel dengan sejarah. Dari kedua pembacaan tersebut, saya mencoba membayangkan pencarian dan penemuan ketidaksinambungan sejarah lewat kritik sastra.

 

Menyisir Jaringan Kausalitas Sejarah Lewat Kritik Sastra

Mas Marco dan Louis Couperus adalah dua contoh yang menunjukkan dampak dari modus klasifikasi sosial “rasial”, yang menurut sosiolog Anibal Quijano merupakan bentuk dominasi “kolonialitas kekuasaan”.[2] Kemunculan sosok haji dalam dalam kisah magis kehancuran residen Van Oudijk yang telah menghina seorang bupati Jawa itu digarisbawahi oleh Chambert-Loir sebagai perlambang ketakutan terhadap gerakan Islam (hlm. 294). Benar saja, delapan belas tahun setelah Kekuatan Terpendam (De Stille Kracht) terbit di Belanda, Marco yang tumbuh dari dan bersama wartawan serta gerakan Sarekat Islam–kemudian pecah menjadi Sarekat Islam Merah, yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia (hlm. 4)–menerbitkan cerbung Student Hidjo dalam surat kabar Sinar Hindia.

 

Prasangka rasial yang dibangun di atas sistem pembedaan sosial kolonial terinternalisasi dalam kebencian tokoh utama novel Kekuatan Terpendam terhadap orang-orang Indo, yang berdarah campuran Belanda-pribumi Jawa. Menurut Chambert-Loir, kebencian tersebut turut dipengaruhi oleh sikap sebagian kaum Indo yang mendorong kemunculan Politik Etis (hlm. 300), pergeseran politik pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang memungkinkan gerakan kebangkitan nasional. Pembedaan gender juga berpangkal dalam logika rasial, yang berpusar pada penglihatan terhadap tubuh manusia untuk menjustifikasi superioritas biologis. Istri tokoh utama, Léonie, yang ditampilkan sebagai perempuan yang buruk dan merupakan salah satu sumber masalah dalam novel tersebut, menggambarkan proyeksi pandangan laki-laki Belanda terhadap perempuan sebangsanya yang tinggal di tanah jajahan. Pokok menarik lain dari novel Kekuatan Terpendam adalah kisahnya berfokus pula “tentang masyarakat kolonial dengan adat kebiasaannya dan lapisan-lapisannya.” (hlm. 293)

 

Di sisi lain, Chambert-Loir berpendapat bahwa novel-novel Marco dalam praktiknya tidak menggambarkan perjuangan antarkelas, “melainkan perjuangan nasionalis, bahkan mungkin hanya perjuangan rasial” (hlm. 9). Sebab tulisnya, alih-alih melibatkan semua kelas yang terpinggirkan dalam perjuangan menentang kapitalisme kolonial, dikotomi pandangan kelas masyarakat dalam karya Mas Marco hanya menyebut pengemis sebagai kelas proletar dan semua orang Belanda sebagai kapitalis, orang Tionghoa maupun Indo tidak pernah disinggung. Nasionalisme Marco pun, menurutnya, terbatas pada Pulau Jawa saja.

 

Jika meletakkan karya Marco yang terbit dalam rentang tahun 1914–1924 dalam linimasa perkembangan kebangkitan nasionalisme Indonesia, tampaknya lebih adil jika keterbatasan soal imajinasi nasion itu ditempatkan pada pengertian nasionalisme regional. Sebelum pecah pemberontakkan PKI pada 1926–1927, yang disusul dengan Sumpah Pemuda 1928, keindonesiaan memang belum terbentuk sepenuhnya. Namun, justru yang menarik adalah gagasan Marco, yang dipetik oleh Chambert-Loir dari Matahariah, soal strategi untuk memantapkan pengetahuan akan sosialisme. Tokoh utama dalam novel tersebut mengatakan bahwa salah satu strategi untuk memperluas pemahaman politik adalah dengan pergi ke luar negeri dan membaca buku.

Singkapan atas karya Marco menekankan perihal mobilisasi, pertukaran, serta interaksi gagasan politik. Ketiga persoalan itu tergambarkan dalam adegan akhir Kekuatan Terpendam yang mengisahkan kedatangan sekelompok haji dari Mekah di stasiun suatu desa di Jawa Barat. Pembacaan interpretatif Chambert-Loir terhadap kedua karya tersebut menekankan pentingnya kritik sastra bagi penulisan sejarah, semisal untuk menguraikan ketakutan atau prasangka rasial orang-orang Belanda yang tergambar dalam karya sastra.

 

Strategi pembacaan dalam kedua teks tersebut adalah menggali kemungkinan makna kontradiktif sebanyak-banyaknya, selazimnya kritik sastra. Temuan atas pembacaan karya tersebut bagi sejarawan, yang terlatih dalam membangun dan menjalin cerita, bermanfaat untuk menjadi sebuah simpul pengait cerita-cerita lain yang serupa untuk membentuk suatu pola yang mungkin ditelaah. Menurut sejarawan Sarah Maza, kritikus sastra memang terbiasa dengan pola tunggal, sedangkan sejarawan lebih mencari pola yang jamak dan umum.[3]

 

Yang tak kalah menarik adalah pendapat Chambert-Loir soal kemungkinan bahwa Marco dipengaruhi Multatuli. Dari kesaksian teman-temannya, Marco tidak fasih dan benar-benar menguasai bahasa Belanda meski sempat mempelajarinya. Lantas dari mana dia bisa membaca atau terpengaruh suatu karya yang baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seabad kemudian? Pertanyaan lebih lanjut yang masih menggantung adalah, apa yang dilakukan Marco selama lima bulan di Den Haag pada 1915, dan mengapa ia ditahan oleh pemerintah kolonial sepulangnya dari sana? Serangkaian pertanyaan ini bukan bermaksud menafikan atau menginterogasi temuan artikel Chambert-Loir, melainkan berusaha membayangkan pertanyaan yang mungkin muncul dalam benak sejarawan yang tertarik soal keterhubungan dan integrasi.[4]

 

Kemudian, mengingat bahwa Louis Couperus mengirim semacam surat proposal penulisan Kekuatan Terpendam kepada penerbit, apakah produksi wacana soal ketakutan akan gagasan Pan-Islamisme dalam novel-novel Belanda berhubungan atau beririsan dengan misi Indologi untuk memahami suatu kekuatan politik yang dibawa oleh para haji yang pulang dari Mekah itu? Kemunculan pertanyaan tersebut menambah daftar panjang hubungan kausalitas sejarah yang dapat ditelusuri lebih lanjut, terutama berkaitan dengan pembentukan pembedaan rasial pada awal abad ke-20, sehingga pembacaan atas kritik dan karya sastra, tentu saja, menarik untuk dikembangkan dalam penulisan sejarah.

 

Mengingat pembacaan kritik sastra dapat menyingkap suatu pola suatu zaman yang terbangun dalam jalinan narasi, serta dapat menjadi acuan membangun jaringan kausalitas sejarah yang lebih luas, para sejarawan bisa mengumpulkan, mengklasifikasikan, memilah serta memilih fakta. Pembacaan kritik maupun karya sastra tersebut, tentu saja, ditempatkan dalam serangkaian peristiwa dan berhadapan dengan kegigihan dalam melakukan verifikasi. Namun, di luar itu perlu dicatat juga bahwa intertekstualitas dan studi resepsi pembaca yang diterapkan dalam kritik sastra, metode yang tampaknya juga diterapkan dalam beberapa artikel dalam bunga rampai Chambert-Loir, memiliki pengaruh besar bagi sejarawan.

 

Internalisasi Politik Ingatan dalam Sastra Eksil

Dalam artikel “Terkunci di Luar”, Chambert-Loir menelusuri salah satu babak dalam sastra Indonesia, yakni sastra eksil Indonesia pasca-1965. Sastra eksil menurutnya bukanlah suatu genre, melainkan terutama merujuk ke “tulisan-tulisan pengarang Indonesia yang terpaksa tinggal di negeri asing karena alasan politik” setelah genosida 1965-1966; dan mencakup semua karya tulis, “bukan hanya yang berciri susastra” (hlm. 71-72, 78). Definisi yang dibentuk dengan manasuka ini juga mencirikan tujuan sastra eksil yang berusaha memberikan versi sejarah dan sikap kesejarahan alternatif, sebagai penantang narasi sejarah propaganda Orde Baru. Meski demikian, yang berkaitan dalam bahasan ini adalah soal percampuran antara fiksi dan realitas dalam karya sastra eksil, seperti yang ditulis oleh Asahan Aidit.

 

Hubungan antara fakta dan fiksi ini juga menggarisbawahi pernyataan Asahan bahwa otobiografi maupun biografi tidak terlepas dari elemen fiksi atau fantasi. Dengan pemahaman yang serupa bahwa tidak ada penggambaran atas kenyataan (mimesis) yang persis, Ibarruri pun menyebut memoarnya sebagai “roman biografis”. Beberapa eksil juga menyatakan bahwa mereka tidak bermaksud menuliskan sejarah, tetapi berniat mengisahkan pengalaman mereka (hlm. 92-93). Terlepas dari ketegangan antara fiksi dan kenyataan, saya membaca sorotan tersebut sebagai pijakan reflektif atas salah satu pertanyaan yang ditinggalkan dalam penutup artikel ini, yakni di mana tempat sastra eksil dalam sastra Indonesia?

Meski sastra eksil diselubungi dengan beberapa kerahasiaan, khususnya kegiatan yang mereka lakukan selama di negara-negara sosialis, Chambert-Loir mencatat signifikansi karya-karya tersebut sebagai dokumentasi sejarah. Oleh karena sastra eksil berkaitan dengan ketegangan ingatan, sejarah dan politik, maka posisinya dalam sastra Indonesia dapat ditempatkan dalam kategori sastra transnasional. Meski perlu dicatat bahwa pengertian tersebut berbeda dengan sastra solidaritas transnasional yang muncul bersama dengan sastra baku tempur,[5] sastra revolusioner, dan sastra nasional pada masa Demokrasi Terpimpin. Jika mengacu pada definisi sastra transnasional yang dicetuskan oleh Paul Jay, produksi sastra eksil melampaui batas-batas ruang geografis atau nasion sebagai imajinasi politis.

Kepekaan kesejarahan dalam sastra eksil berada di tengah kesadaran menulis sejarah untuk masa depan, dan dalam beberapa kasus bertujuan mewariskan ingatan kepada keluarga. Begitulah sifat sastra transnasional yang begitu terlibat dengan sejarah untuk menawarkan eksplorasi kritis atas berbagai peristiwa penting secara luas.[6] Meski pada akhirnya dibayangi oleh tegangan subjektivitas-objektivitas, penulisan otobiografi dan memoar, menurut Chambert-Loir, berusaha menemukan koherensi dari kisah kehidupan pribadi dalam patahan tragedi sejarah 1965. Ketegangan antara sejarah dan kehidupan seorang manusia adalah kekhasan sastra eksil.

 

Terlepas dari kedua persoalan itu, seni kerahasiaan dalam penulisan sastra eksil justru membuat saya berpikir, apakah keterbatasan sumber sejarah dapat dijembatani oleh karya sastra? Mengingat menurut Chambert-Loir, suatu patahan yang tidak banyak dikisahkan oleh para pengarang sastra eksil adalah kehidupan budaya mereka. Patahan lain yang terlewat sebab jarang diceritakan dalam memoar, khususnya oleh para eksil yang terjebak di Cina setelah G30S, adalah penjelasan mengenai produksi puisi-puisi yang memuja Mao Zedong dan keterlibatan orang-orang Indonesia dalam Konferensi Darurat Pengarang Asia-Afrika pada 1966 di Beijing.

 

Seperti yang dikemukakan dalam buku ini, dinamika sosial para pengarang sastra eksil berkaitan dengan menurunnya solidaritas negara-negara sosialis pada puncak Perang Dingin, yang juga ditandai dengan konflik antara Republik Rakyat Cina dan Uni Soviet. Menarik bahwa Loir tidak mencatat puisi-puisi pengarang Indonesia yang terhimpun dalam antologi Indonesian People Take Mao Tse-tung’s Road (1968) yang diterbitkan oleh Biro Pengarang Asia-Afrika. Beberapa nama pengarang dalam antologi tersebut seperti Z. Afif dan Sutojo sebelumnya pernah diterbitkan dalam The Call: Bulletin of Afro-Asian Writers’ Bureau pada tahun yang sama. Saya pikir pembacaan “sastra eksil” secara paralel dengan puisi-puisi ini dapat menyingkapkan suatu faset yang dapat dibaca “di antara” teks.

 

Saya sepakat bahwa memang banyak kerahasiaan atau sesuatu yang ditutupi secara sengaja oleh para pengarang tersebut. Proses mengingat dengan demikian menjadi begitu politis, sebab ingatan yang ditulis tersebut telah dipilah-pilih. Oleh karena itu, pembacaan sastra eksil secara struktural dapat menyingkap suatu pola narasi yang dibangun para penulis. Strategi semacam itu dapat menjembatani keterputusan narasi, menjejak lubang-lubang narasi yang tertinggal–yang mungkin saja sengaja disembunyikan atau tertunda untuk diceritakan–serta menemukan keterkaitannya satu sama lain. Dengan demikian, strategi pembacaan dekat terhadap karya sastra dapat berguna sebagai pengayaan tentang kajian memori dan sejarah. Selain itu, pembacaan paralel dengan ko-teks seperti “dokumen” sejarah juga dapat memberikan interpretasi lain mengenai suatu peristiwa.

 

Semisal, berkaca pada penulusuran saya yang terbatas, saya belum menemukan pernyataan terbuka di media Lekra semisal Harian Rakjat atau Zaman Baru perihal penundaan Konferensi Pengarang Asia-Afrika III di Jakarta pada 1964, yang sudah dipersiapkan sejak Sidang Eksekutif KPAA di Jakarta dan Denpasar pada 1963. Rencana itu gagal akibat delegasi Biro KPAA di Kolombo, Rivai Apin, Hersri Setiawan[7] serta ketua Komite Nasional KPAA Indonesia Pramoedya Ananta Toer ditahan tanpa peradilan dan diasingkan ke Pulau Buru. Namun, dari pembacaan terhadap puisi-puisi mengenai solidaritas transnasional menjelang 1965, saya mendapatkan kesan bahwa perpecahan politis antara Cina dan Uni Soviet yang berpengaruh dalam gerakan menjadi salah satu alasan penundaan KPAA III. Oleh sebab itu saya bersepakat dengan Chambert-Loir bahwa karya “sastra eksil” berguna sebagai dokumen sejarah, untuk menjawab pertanyaan yang tidak tercatat dalam sumber konvensional. Meski dengan catatan bahwa pembacaan interpretatif ini perlu dilakukan dengan hati-hati dan cermat, juga sebisa mungkin mengkonfirmasi temuan-temuan interpretatif itu dengan kesaksian atau ingatan para orang-orang yang terlibat dalam suatu peristiwa.

 

Namun perlu juga dicatat bahwa definisi manasuka yang diajukan oleh Henri Chambert-Loir, yang membatasi sastra eksil pada generasi pertama yang terdampak Peristiwa 1965, terlalu sempit dan tidak memungkinkan pemeriksaan atas sastra eksil sesudah generasi pertama. Terlepas dari persoalan itu, artikel Chambert-Loir menekankan pekerjaan rumah yang masih perlu dieksplorasi oleh para peneliti sejarah/sastra Indonesia.

 

Indonesia dan Sri Lanka menandatangani kesepakatan bersama. Kedua dari kiri dari bawah adalah Rivai Apin, ketiga dari kiri di belakang adalah Hersri Setiawan.
 

Artikel lain dalam bunga rampai ini juga menunjukkan beberapa metode kritik sastra yang berguna bagi penulisan sejarah. Semisal dalam “PKI Stroganoff: Novel Pulang Leila Chudori” yang menerapkan dua pendekatan, yakni studi resepsi dan studi parateks.[8] Pendekatan studi resepsi pembaca kini lebih mudah diterapkan. Hari ini, situs ulasan seperti Goodreads atau ulasan di akun-akun media sosial personal menjadi medium kritik yang penting. Akan tetapi pembacaan parateks rasanya masih kurang subur dalam kritik sastra. Di Indonesia metode ini lebih banyak dipakai oleh para sarjana filologi, semisal untuk meneliti catatan pinggir dalam suatu naskah. Dengan menggunakan metode itu, tampaknya menarik untuk mengunjungi perpustakaan pribadi seorang penulis, menyisir koleksi dalam perpustakaan pribadinya, dan mengamati marjin buku yang menjadi “sumber utama referensinya”. Siapa tahu kita juga dapat menemukan corat-coret konyol seperti gambar Vladimir Nabokov dalam marjin buku karya Franz Kafka.

Dalam sebuah penulisan sejarah sastra, tentu saja, terselubung juga kritik terhadap karya-karya yang hadir, meski sekilas ataupun terjalin dalam konteks sejarahnya. Kesan itulah yang kira-kira saya rasakan ketika membaca beberapa artikel dalam Sastra dan Sejarah Indonesia: Tiga Belas Karangan. Dari uraian di atas, kritik atau karya sastra penting bagi peneliti sejarah untuk menggali sesuatu yang tidak terjelaskan atau dapat ditemukan di dalam sumber di lapangan. Pembacaan interpretatif dalam hal ini dapat menjadi jalan pintas untuk menjelaskan sesuatu hubungan kausal yang memang tidak di/terjelaskan oleh manusia dalam sejarah.

Pokok yang menarik lain juga adalah detail kecil, tetapi penting dalam beberapa artikel Chambert-Loir, yakni himbauan untuk menjauhkan diri dari sudut pandang Erosentris dan mulai memakai istilah “Selatan” untuk merujuk secara geopolitis wilayah yang pernah terjajah oleh Eropa Barat. Sementara persimpangan politis antara sastra dan sejarah, meminjam pengertian Pramoedya Ananta Toer,[9] adalah untuk merevaluasi atau mendekolonisasi sejarah dalam segala bidang yang selama ini didominasi pandangan Erosentris akibat kolonialisme.

 

Memang, tampaknya sejarah dan sastra perlu mengakrabkan diri. Sebab, mengutip sejarawan Prancis Paul Veyne bahwa penulisan sejarah itu seperti sebuah novel: sejarawan maupun pengarang bekerja dalam memilah, menyederhanakan, menyusun hingga memasukkan “sebuah abad ke dalam satu halaman.”[10]

 

 

[1]  Budianta, Melani. 2002. “In the Margins of the Capital: Tjerita Boedjang Bingoeng and Si Doel Anak Betawi” dalam Clearing a Space: Postcoloniality and Indonesian Literature, eds. Keith Foulcher and Tony Day, KITLV.; Indriani, Ismi. 2021. “Mencari Cinta pada Masa Pergerakan Nasional” dalam Jurnal Sejarah vol. 4, No. 1.

[2]  Untuk mendapatkan pengertian lebih lanjut tentang “kolonialitas kekuasaan” ‘coloniality of power’ lihat Quijano, Anibal. 2000. “Coloniality of Power and Eurocentrism in Latin America” dalam International Sociology, 15(2), 215–217; (2007). “Coloniality and Modernity/Rationality” dalam Cultural Studies, 21:2-3.

[3] Maza, Sarah. 1996. “Stories in History: Cultural Narratives in Recent Works in European History” dalam The American Historical Review Vol. 101, No. 5. Hlm. 1509.

[4] Lihat semisal uraian soal pemahaman akan keterhubungan dan intergrasi dalam pendekatan sejarah global dalam Sebastian Conrad. 2016. What is Global History? Hlm. 90-114

[5] Istilah ini dipinjam dari esai Brigitta Isabella, “Keramahtamahan Antikolonial di Meja Keluarga Asia-Afrika”. Istilah tersebut berasal dari pandangan Frantz Fanon soal kemunculan sastra pascakolonial yang juga perlu terlibat dalam perjuangan antikolonial. “Littérature de combat, littérature révolutionnaire, littérature nationale.” Lihat Frantz Fanon (2002 [1961]: 211]) Les Damnés de la terre. Paris: La Découverte /Poche.

[6] Untuk uraian lebih lanjut mengenai sastra transnasional dalam versi ringkas dan sederhana lihat Jay, Paul. 2021. Transnational Literature: The Basic. Routledge.

[7] Lihat “Ceylon Writers Sign Joint Statements with Writers of Kenya & Indonesia” dalam The Call: Bulletin of Afro-Asian Writers’ Bureau. September 1964. Kolombo Hlm. 7. Perlu dicatat bahwa ketika gerakan pengarang Asia-Afrika terbelah antara kubu yang didukung Uni Soviet dan Beijing, buletin The Call bersama dengan Biro Pengarang Asia-Afrika pindah ke Beijing. Sedangkan Asosiasi Pengarang Asia-Afrika berdiri di Kairo Mesir menerbitkan majalah Lotus.

[8] Istilah yang digunakan oleh Gerard Genette  dalam bukunya Paratexts (1987) untuk menjelaskan teks-teks lain dalam sebuah buku, semisal blurb, sampul, kolofon, marginialia dll.

[9] Toer, Pramoedya A. 1962. “Sastera harus militan melawan imperialisme dan neo-kolonialisme: Singkatan pesan Ketua Panitia Nasional Pengarang A.A., Pramoedya Ananta Toer, kepada KSAA ke 2 di Kairo” Harian Rakjat,  17 Februari 1962.

[10]Comme le roman, l’histoire trie, simplifie, organise, fait tenir un siècle en une page.” ‘Seperti novel, sejarah memilah, menyederhanakan, mengatur, dan membungkus [fakta dalam] sebuah abad ke dalam satu halaman. Veyne, Paul. 1971. Comment on écrit l’histoire. Essai d’épistémologie. Paris: Seuil.

0 comments:

Posting Komentar