Amok: Kegilaan Masyarakat Nusantara

Alkisah, kabar tentang pesona Galuh Candra Kirana menyebrang sampai jauh. Berita itu membuat raja Malaka yang keenam Sultan Mansyur Syah, yang pertama kali menguasai penuh Malaka, rela terombang-ambing berhari-hari di laut untuk menjemputnya.

Syahdan hubungan antara Kerajaan Majapahit dan Kesultanan Malaka terjalin. Pernikahan agung itu dikisahkan oleh pujangga Melayu, Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi dalam Hikayat Abdullah (1849). Namun sayang, seperti yang dicatat oleh Raffles (1817), anak dari perkawinan itu, Raden Galang tewas dalam kecelakaan yang dipicu amok.

Amok berdasar mitologi Melayu merupakan ledakan amarah yang terjadi secara tidak sengaja yang disebabkan oleh “hantu belian” atau roh harimau jahat yang merasuki tubuh seseorang. Singkatnya, ia serupa fenomena kesurupan yang memaksa tubuh untuk melakukan kekerasan tanpa sadar. Kepercayaan spiritual membuat perbuatan ini sempat ditolerir dalam kehidupan bangsa Melayu. Amok juga sah dilakukan di Jawa sebelum kedatangan Aji Saka.

Beratus tahun sejak tewasnya Galang, kata amok mengalami perluasan makna, bukan sekadar peristiwa kesurupan. Ia juga dipakai sebagai tanda untuk memulai pemberontakan atau sebagai pilihan bertahan paling akhir dalam peperangan. Sebuah penelitian juga memasukkan amok sebagai kategori gangguan kejiwaan.

Orang yang mengamuk tanpa sebab disebut gila. Asal-usul kegilaan itu dapat dilihat dari kognat atau kekerabatan kata ‘gila’ dari Semenanjung Malaka. Setelah menyebrang selat Sunda ia berubah menjadi ‘gelo’, semakin ke Timur menjadi ‘gendeng’ dan predikat ‘orang gila’, ‘jelma gelo’, atau ‘wong gendeng’ disematkan pada mereka yang mengamuk tanpa sebab.

Kekerasan yang merenggut darah daging Galuh Candra Kirana itu merupakan sepenggal fragmen awal dari rentangan panjang kisah amok sebagai gangguan jiwa di Nusantara.

Amok Sebagai Budaya Melayu

Nyoman meraih moncong senapan Snaphaunce. Secepat kilat ia mengayunkannya ke leher orang yang membuatnya marah. Ia menyalakan sinyal amok. Keributan menyebar. Ia memantik kawan-kawannya yang lain untuk memanfaatkan kesempatan untuk membebaaskan diri dari status budak belian.

Pemberontakan itu pecah di atas kapal VOC, Mercuur yang berada di lepas laut Batavia, dekat Pulau Edam pada pagi hari 6 September 1782. Pemberontakan serta pembajakan kapal yang dilakukan tujuh puluh sembilan budak Bali itu mengirim sinyal menakutkan pada para pemimpin perusahaan, tulis peneliti Belanda Matthias van Rosum dalam artikelnya, ‘‘Amok!’’: Mutinies and Slaves on Dutch East” (2013).

Amok juga menjadi strategi dalam perang. Thomas Stamford Raffles, letnan-gubernur Inggris di Jawa dalam magnum opusnya, The History of Java (1817) menulis amok adalah strategi bertahan paling akhir dalam pertempuran yang menjumpai kekalahan tak terelakkan.

Jauh sebelum itu, amok tidak bermakna politis, tapi cenderung sebagai pelampiasan. Abstrak hukum yang berlaku di Jawa sebelum kedatangan Aji Saka yang dikumpulkan oleh Jacob Albert van Moddlekoop, seorang pegawai VOC yang tiba di Jawa pada 1793, mengatakan bahwa amok boleh dilakukan asal seseorang yang mengamuk itu bersedia membayar denda pada setiap nyawa yang gugur. Dua setengah tahil, sekitar tujuh puluh lima setengah gram emas untuk mengganti nyawa pria dan tiga setengah tahil untuk wanita yang terbunuh.

Keterangan lain diceritakan oleh seorang penjelajah atau kartografer Inggris James Cook pada 1770 yang mengamati suku Melayu. Ia menggambarkan orang-orang yang terkena amok melakukan kekerasan tanpa sebab yang jelas, mereka membunuh dan melukai secara membabi buta.

Tidak lama setelah Kapten Cook, pada 1849 peneliti antropolog dan psikiatri mengamati suku primitif di Filipina, Laos, Papua Nugini dan Puerto Rico. Mereka yakin bahwa faktor-faktor budaya yang unik menyebabkan amok. Studi kasus penelitian etnopsikiatri itu membuat amok masuk sebagai kondisi kejiwaan.

Amok Sebagai Gangguan Jiwa

Amok masuk dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV) yang disusun oleh American Psychiatric Association sebagai salah satu jenis gangguan jiwa langka dan eksotis. Ia masuk dalam kategori cultural-bound syndrome (sindrom budaya terikat).

Sindrom budaya terikat adalah kombinasi gejala psikiatris dan somatis yang dikenali dalam masyarakat atau budaya tertentu. Berbeda dengan gangguan jiwa lain seperti skizofrenia atau bipolar, penyakit ini konon tidak memberi perubahan biokimia dan perubahan struktural fungsi organ tubuh.

Dalam sebuah jurnal medis dan psikiatri, psikiater dari Los Angeles Manuel L. Saint Martin (1999), membagi motif amok menjadi dua. Pertama, amok yang disebabkan oleh depresi atau sedih karena kehilangan. Kategori inilah yang lumrah terjadi secara umum. Kategori kedua, yang jarang terjadi, berhubungan dengan kemarahan, perasaan dihina atau dendam.

Jika mengacu pada laporan awal kasus amok, dapat dikatakan bahwa amok bukanlah kondisi kejiwaan melainkan perilaku kekerasan yang diakibatkan oleh gangguan mood atau bipolar, psikotik, gangguan kepribadian, skizofrenia, dlsb. Amok tidak dapat lagi dianggap sebagai gangguan yang unik. Sebab, faktor budaya bukan patogenesis amok.

Dalam artikel yang terbit di Issue in Mental Health Nursing (2012), peneliti UCLA Jacquelyn H. Flaskerud menyarankan agar amok tidak lagi dianggap sebagai sebuah sindrom yang berkaitan dengan budaya kuno. Perilaku ini menurutnya akan lebih tepat jika dilihat sebagai bentuk ekstrem perilaku kekerasan akibat dari gangguan jiwa, patologi kepribadian, dan tekanan psikososial.

Kedua tinjauan amok tersebut merupakan kritik terhadap etnopsikiatri yang berusaha menjelaskan keterkaitan kesehatan jiwa dan perubahan kebudayaan dari masyarakat yang beragam. Usaha etnopsikiatri itu sebenarnya mirip seperti penjelasan mengenai efek perubahan lingkungan perkotaan yang menyebabkan kegilaan masyarakat Eropa modern.

Akan tetapi, pendapat etnosentris itu cenderung terjebak dalam kacamata kolonial Barat yang menyederhanakan kehidupan masyarakat tanah koloni. Serba aneh, ganjil, dan eksotis.

Rumah Sakit Jiwa di Hindia Belanda

Rumah Sakit Jiwa Lawang


Theunissen di depan pintu Rumah Sakit Jiwa Lawang. Sumber: Artikel Hans Pola (20012) The Psychiatrist as Administrator: The Career of W. F. Theunissen in the Dutch East Indies

Kehadiran institusi rumah sakit jiwa di Hindia—Belanda pada pertengahan abad 19 mengubah pandangan terhadap amok. Perilaku aneh yang sebelumnya dianggap berkaitan dengan setan itu mendapat perlakukan psikiatris dan ditangani secara medis.

Orang-orang Eropa jadi prioritas dalam penanganan gangguan jiwa di rumah sakit kolonial Hindia—Belanda. Sedangkan pengadilan dan penjara adalah pintu masuk bagi pribumi untuk mendapat perawatan. Orang pribumi biasanya mengamuk akibat kelelahan karena dipaksa bekerja.

Berbeda dengan orang Eropa yang dirawat secara layak, pribumi ditempatkan di bangsal dari bambu, tulis peneliti Hans Pols dalam “The Career of W. F. Theunissen in the Dutch East Indies” yang terbit di jurnal Health and History (2012).

Peningkatan jumlah pribumi yang mengalami gangguan jiwa karena bersentuhan dengan peradaban Eropa, seperti yang diungkapkan Hans Pols (2012), telah diprediksi oleh psikiater Belanda, W. F. Theunissen. Serangkaian kecelakaan-kecelakaan akibat gangguan jiwa (amok) pada abad ke-20 dapat dilihat pada lembaran arsip koran-koran berbahasa Belanda.

Amok di Hindia Belanda Pada Abad ke-20

Pada Kamis, 24 Agustus 1911 di Solo, seorang Arab mengamuk. Ia dapat dikendalikan setelah seorang Eropa memukulnya dengan palang pintu yang membuatnya tewas seketika. Kecelakaan itu diwartakan koran De Locomotief.

Koran Bandung, De Express pada Jumat 14 Juni 1912 memberitakan, seorang kopral Ambon Kuthu dan seorang wanita pribumi terbunuh di Kota Raja dalam sebuah amok.

Sebuah berita berjudul “Amok di Kota Malang: Dua Mati, Seorang Eropa Terluka” yang dimuat dalam koran Het Nieuws Van Den Dag hari Selasa, 12 Februari 1935 menyiarkan seorang pribumi yang mengamuk dan membuat dua orang pribumi serta seorang Eropa terluka.

Pada sore yang naas di hari pertama bulan puasa, seorang bocah tionghoa dibacok sampai tewas dan dua kepala kampung terluka parah di sebuah desa dekat Bireun, Aceh. Bocah tionghoa itu tewas di tangan seorang yang mengamuk bersenjatakan kapak. Rumor mengatakan, di samping bocah yang terbunuh ada empat orang lagi yang terluka termasuk seorang polisi. Kemalangan ini diberitakan Soematra Post pada Rabu, 17 November 1935.

Seorang komandan polisi perkebunan (cultuur politie) Belanda, Hoogeveen tangannya terluka saat berusaha mencegah kecelakaan amok. Kejadian yang dilaporkan Bataviaasch Nieuwsblad hari Selasa, 12 Mei 1936 itu terjadi di desa Baki dekat Kartasura.

Lima kecelakaan akibat amok itu adalah sebagian kecil dari sekian banyak laporan pada awal abad ke-20. Dulu, pada masa Jawa kuno, orang yang mengamuk biasanya terbunuh dalam upaya penghentian. Tapi, pada awal abad 20, mereka yang masih hidup ketika berhasil dilumpuhkan, dimasukkan ke rumah sakit jiwa.

Wacana soal amok juga pernah dimanfaatkan dunia Barat dengan picik untuk menjelaskan sebab pembantaian massal 1965—1966 yang seharusnya dipandang sebagai bencana sosial-politik. Dengan begitu, amok mengalami perluasan makna yang brutal berkat imajinasi kolonial.

Amok Sebagai Pembenaran Pembunuhan Massal

Pada 1965—1966 Indonesia banjir darah. Sarwo Edhie bersama Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) atas perintah Suharto menghancurkan Gerakan 30 S dan PKI sampai ke akar-akarnya.

Selanjutnya, para milisi sipil yang didukung oleh Angkatan Darat menjagal orang-orang yang dicap sebagai komunis. Jumlah korbannya mencapai lebih dari lima ratus ribu jiwa—Sarwo Edhie dengan bangga menyebut angka tingga juta kepala. Dalam waktu singkat, Indonesia mencatat salah satu sejarah pembunuhan massal terbesar di dunia pada abad ke-20.

Negara liberal Barat yang emoh melihat komunis semakin menyebar di seluruh dunia bersorak-sorai atas pembunuhan massal itu. Nalar yang diunggulkan negara Barat serejang masuk ke tong sampah ketika mereka menganggap tindakan keji tanpa peradilan itu dilatarbelakangi oleh budaya amok orang Indonesia.

Pembunuhan massal ’65 secara sederhana terjadi karena “budaya amok” dalam skala yang besar. Begitulah argumen banal beberapa berita yang dimuat media Barat. Penjelasan serupa ini digemari pejabat Indonesia dan sekutu mereka, serta muncul banyak dalam narasi populer, menurut singkapan sejarawan Geoffrey Robinson dalam Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965—1966.

Dikutip dari buku Robinson (2018), sebuah berita dari New York Times pada April 1966, mewartakan, “Orang Indonesia itu lembut dan secara naluriah ramah, tetapi ada ciri Melayu aneh yang tersembunyi di balik senyum mereka, rasa haus darah yang terpendam dan penuh kegilaan. Hal ini telah memberi salah satu dari sedikit kata bahasa Melayu: ‘amok’. Kali ini, seluruh bangsa ini mengamuk.” Narasi serupa juga diberitakan oleh harian Prancis, Le Figaro.

Wacana seperti itu secara politis mengaburkan jejak keterlibatan negara, khususnya Angkatan Darat dalam menyiapkan serta memobilisasi massa. Pembunuhan massal terjadi secara sistematis dan mendapat dukungan penuh dari Angkatan Darat, seperti yang ditulis peneliti Australia Jess Melvin dalam The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder (2018). Melvin juga mengungkapkan bahwa amok adalah kiasan rasis era kolonial.

Mereka yang terlibat dalam penjagalan bukan orang-orang yang dikendalikan setan, tapi orang-orang yang telah disiapkan. Amok bukan budaya yang melatarbelakangi pembunuhan massal atau yang merenggut nyawa anak Galuh Candra Kirana. Ia adalah gangguan jiwa yang sejak lama dimitoskan karena kepercayaan spiritual serta dilekatkan sebagai kegilaan masyarakat Nusantara oleh media Barat yang rasis.

Mendukung narasi bahwa pembunuhan massal 1965—1966 dilatarbelakangi amok berarti membenarkan mitos kegilaan masyarakat Indonesia yang haus darah. Tentu para penjagal itu tidak menderita skizofrenia, tapi termakan provokasi busuk jenderal-jenderal gila.


0 comments:

Posting Komentar