Saya terperanjat, sebab lagu yang saya nyanyikan bertahun-tahun lalu baru menyingkap rahasianya. Empat tahun sudah lewat sejak saya pertama berkenalan dengan lagu Podho Nginang, dan kali ini ia kembali mengganggu tidur saya.
Kotak arsip saya bongkar, partitur aransemen saya baca
ulang. Lirik lagu tersebut makin menguatkan dugaan saya. Jelas, lagu itu tak
ditulis pada masa penjajahan atau sebelumnya, melainkan pada masa “revolusi
yang belum usai”.
Di ujung telepon, Yanu Kristiono tertawa kencang. Guru
musik saya semasa SMA itu membenarkan dugaan saya. Ia juga sempat mendengar
bahwa lagu yang ia temukan secara tidak sengaja itu memang dianggap "sepaket"
dengan Genjer-Genjer–karya komponis Muhammad Arief yang ditulis pada masa
pendudukan Jepang dan dibredel karena dianggap lekat dengan citra Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Guru saya tidak sengaja berkenalan dengan Podho
Nginang. Suatu ketika, beliau berpapasan dengan seorang tunawisma yang
menyanyikan lagu tersebut dengan sengau sambil menyusuri jalan. Lirik dan
nadanya yang menawan mendorong Pak Yanu mencari tahu lebih jauh dan mengaransemen
ulang lagu tersebut.
Ia pun mengenalkan Podho Nginang pada kelompok kami,
yang berangkat mengikuti lomba paduan suara di Pattaya, Thailand. Kala itu,
lagu tersebut kami bawakan dan berhasil mengantar kelompok kami menjadi juara.
Namun, komentar seorang juri mengganggu saya sampai sekarang. Ia berceloteh
bahwa "eksotisme" lagu tersebut menyihirnya.
Saya mafhum waktu itu. Barangkali, keterbatasan
bahasa, budaya, dan sejarah membuatnya takmampu menangkap keseluruhan makna
lagu yang kami bawakan. Juri asal Thailand itu tak mungkin memahami bagaimana
rasanya menjadi bagian dari bangsa yang pernah dijajah.
Narasi Podho Nginang akan membawa pendengarnya mundur
dua abad. Lagu tersebut berkisah tentang perlawanan Pangeran Wilis terhadap VOC
di Banyu Alit – salah satu kisah pemberontakan terhadap VOC paling awal di
Nusantara yang, menurut sejarawan Sri Margana (2012), tidak tercatat dalam buku
sejarah resmi negara, Sejarah Nasional Indonesia IV. Muatan inilah yang membuat
lagu ini sukar ditulis pada masa kolonial. Lebih masuk akal bila lagu tersebut
ditulis pasca-Proklamasi Kemerdekaan, ketika narasi perlawanan terhadap
penjajahan mulai disiarkan dalam lagu secara lebih terang-terangan.
Ada tiga babak dalam cerita Podho Nginang. Babak
pertama mengisahkan sejarah perjuangan rakyat Blambangan (kerajaan Hindu
terakhir yang bertempat di ujung Timur Jawa, daerah Banyuwangi – red) melawan
VOC di bawah kepemimpinan Agung Wilis, sampai kisah perjuangannya yang
dilanjutkan oleh Jagapati, yang mengaku titisan Wilis.
Saya membagi babak penceritaan lagu ini berdasarkan
jumlah silabelnya. Pada bagian pertama jumlah silabelnya cukup rapat, antara
12-14 silabel. Pada bagian kedua rata-rata antara 12-13 silabel, sementara pada
bagian akhir memiliki silabel 8 dan 4 dengan pola a-b-a-b. Hal inilah yang
memungkinkan eksplorasi ritmis dalam aransemen ulang yang dilakukan oleh Yanu
Kristiono, selain eksplorasi lain untuk kebutuhan a capella, yakni harmonisasi.
Lagu ini mengalun dengan tenang pada pembukaannya,
seolah perjuangan heroik masa lampau itu dihadirkan sebagai pengantar untuk
perjalanan panjang pemberontakan Blambangan yang menjadi latar babak
berikutnya.
Pada bagian kedua, aransemen Yanu Kristiono mengubah-ubah
ritme lagu tersebut seiring dengan narasi lagu yang mulai memasuki klimaks.
Lirik berubah menjadi kecaman terhadap kolonialisme. Fokus yang disuarakan
adalah rakyat kecil sebagai kekuatan yang tidak melulu diam dan membiarkan
dirinya dikerdilkan dalam struktur sosio-ekonomi-politik.
Setelah kedua babak tersebut, Podho Nginang mengajak
rakyat Blambangan membangun kembali negeri yang terus-menerus digempur selama
berabad-abad karena perebutan hegemoni Ujung Timur Jawa oleh Mataram, Bali,
VOC, hingga Inggris. “Ojo dikiro wes mandheg semene,” tutur lagu tersebut.
“Selawase wong cilik mlarat uripe” (Jangan dikira [perjuangan] berhenti sampai
di sini / selamanya rakyat kecil miskin hidupnya).
Nukilan slogan “Njenggirat Tangi” yang diadopsi oleh kabupaten
Banyuwangi pun ditemukan dalam lirik Podho Nginang, tetapi dibungkus dalam
narasi yang revolusioner. Lirik tersebut mengajak rakyat “membakar setan alas
di mana-mana” (ngobong setan alas ring endi-endi) serta mengajak para buruh
tani bersatu merengkuh kemenangan. Jelas, lagu ini mengambil kisah sejarah
perjuangan Blambangan, dan menjadikannya semangat untuk perlawanan yang
terus-menerus.
Namun, bagian terakhir lah yang paling mengusik saya.
Usai merunut sejarah panjang Blambangan dan mengecam kolonialisme, babak
terakhir lirik Podho Nginang justru mengajak buruh tani bersatu dan membuat
Blambangan “menjadi merah”. Ajakan ganjil inilah yang memantik kecurigaan saya
bahwa lagu tersebut sebenarnya lahir pada dekade 1950-an, ketika tema tersebut
mudah ditemukan dalam produk-produk kesenian LEKRA.
Menariknya, ada kejanggalan dalam sejarah lagu
tersebut. Ketika guru saya menemukan versi ‘baru’ dari Podho Nginangyang
dirilis dalam format VCD bertajuk Angklung Soren dan dinyanyikan oleh Pipit,
frasa “buruh tani” diganti menjadi “ayo konco” dan kata kunci “dadi abang”
(menjadi merah) diubah menjadi “tenteram aman”. Mengapa liriknya diutak-atik?
Jawabannya ada pada kisah di balik lagu tersebut.
Podho Nginang dikomposisi oleh Boestari Elman, atau yang biasa dikenal dengan
julukan Endro Wilis. Adapun versi 'baru' yang didengar guru saya, diaransemen
ulang oleh BS Nurdian. Menurut peneliti Ikwan Setiawan, Endro sebetulnya adalah
anggota tentara Angkatan Darat. Pada masa konfrontasi antara Indonesia dengan
Malaysia, ia sempat ditugaskan ke Sanggau, Kalimantan Barat. Namun, cinta
sejatinya adalah kesenian.
Sastrawan muda Banyuwangi ini tergabung dalam Sri Muda
(Seni Rakyat Indonesia Pemuda), peleburan dari Sri Tanjung yang bergerak khusus
di bidang angklung caruk. Organisasi tersebut dipayungi oleh Lembaga Kebudayaan
Rakyat atau LEKRA. Bersama pentolan lainnya seperti Slamet Menur, Andang Chatif
Yusuf, dan Muhamad Arief (pencipta lagu Genjer-Genjer), Endro mengembangkan Sri
Muda sampai ke pelosok-pelosok desa. Upaya mereka tak sia-sia. Sejak berdiri
pada 1954, Sri Muda mempunyai 34 cabang di seluruh Kabupaten Banyuwangi.
Kesuksesan Sri Muda dalam menjaring massa amat
dipengaruhi kondisi sosio-ekonomi rakyat Banyuwangi yang agraris. Masyarakat
lokal terbiasa merayakan hajatan panen dengan pertunjukan kesenian yang bisa
disusupi tema-tema tertentu. Pemilihan angklung sebagai instrumen utama dalam
komposisi mereka pun tidak sembarangan. Bambu, bahan dasar angklung, tidak
sulit ditemukan di Banyuwangi yang subur, sehingga alat tersebut dapat
diproduksi massal dan diakses sebanyak mungkin orang.
Tema yang diangkat dalam karya-karya mereka pun tak
jauh dari narasi dan sejarah lokal. Endro Wilis membingkai cerita Perang Bayu,
Agung Wilis, dan Blambangan sebagai bentuk upaya perlawanan terhadap hegemoni
Jawa dan kolonial. Sejak para pujangga Surakarta menuliskan epos Serat
Damarwulan, rakyat Blambangan digambarkan sebagai kelompok yang bengis dan
tidak beradab.
Damarwulan pun menggambarkan kebrutalan Blambangan
secara simbolik melalui sosok Raja Blambangan, Minak Djinggo. Karakter tersebut
digambarkan sebagai raksasa bertubuh manusia namun berkepala anjing, yang gemar
memakan manusia. Narasi sejarah pun dibelokkan melalui budaya. Penaklukkan
daerah Blambangan dibingkai sebagai upaya penumpasan terhadap Minak Djinggo dan
kroni-kroninya yang lalim.
Perebutan kekuasaan di Blambangan yang dilakukan oleh
pelbagai kepentingan membuat masyarakat Blambangan terasing dari tanahnya
sendiri. Krisis pangan, perang suksesi kekuasaan, sampai perang dagang antara
VOC dan Inggris membuat wilayah ini ditinggalkan penduduk aslinya. Dalam Podho
Nginang pun Endro Wilis menuliskan jejak perang dagang yang menggunakan politik
candu ini: “jangan dikira rakyat tidur melulu / jangan dikira rakyat mendem
candu.”
Masyarakat yang tetap bertahan kemudian dijuluki
masyarakat “Using” atau Osing – istilah yang kira-kira dapat dimaknai sebagai
“mereka yang berkata tidak/menolak”.
Konteks sejarah dan budaya inilah yang menjadikan
daerah Banyuwangi begitu menarik bagi LEKRA. Sebagai organisasi yang dekat
dengan PKI, LEKRA menjadi ujung tombak PKI di Banyuwangi untuk menjaring
simpati masyarakat. Pola menyusur akar rumput serta sikap mereka dalam
mendorong kebudayaan daerah membuat LEKRA sukses menggencarkan semangat
bermusik masyarakat Banyuwangi pada masanya.
Masa jaya ini pupus ketika peristiwa 1 Oktober meletus
pada 1965. PKI diberangus oleh pemerintah, dan masyarakat yang dianggap bagian
dari PKI atau simpatisan PKI dibantai dalam kampanye pembunuhan massal yang
menelan jutaan korban jiwa. LEKRA, yang dianggap sebagai onderbouwPKI, turut
menerima akibatnya. Meski secara resmi bukan bagian dari PKI – bahkan Njoto
sekalipun menolak mentah-mentah PKI membawahi LEKRA – ia tetap dibredel dan
senimannya ditangkapi.
Endro Wilis salah satunya. Pasca-Peristiwa '65, ia
ditahan dan terpaksa merasakan dinginnya lantai penjara Lowokwaru, Malang.
Karya para seniman tersebut pun dilarang dan institusi
yang mereka bina diambil alih atau dibubarkan sepenuhnya. Musik Banyuwangian
yang ditulis oleh para komposer angkatan Sri Muda menjadi tabu dinyanyikan
karena liriknya yang identik dengan gagasan sosial politik. Lagu Genjer-Genjer,
misalnya, dianggap lekat dengan PKI dan haram dinyanyikan.
Kelompok ludruk yang dibina oleh Endro Wilis di
Kalibaru diambil alih oleh tentara Angkatan Darat. Perlahan-lahan, Orde Baru
berusaha menghilangkan ingatan kolektif tersebut dengan cara menumbuhkan
kebudayaan baru yang dianggap bersih dari pengaruh LEKRA.
Pada masa Orde Baru, semangat musik Banyuwangian yang
tadinya politis berubah menjadi semangat etno-kultural. Menurut Dwi Pranoto,
musik Banyuwangian yang ditulis sebelum 1965 banyak menggambarkan solidaritas
sosial. Semisal, lagu Rantagkarya Muhamad Arief yang menyuarakan gagasan
internasionalisme, atau Emas-Emas yang menggambarkan keseharian buruh tani.
Pasca-1965, upaya komponis angkatan Sri Muda untuk membawa ide revolusioner dan
menggambarkan ketimpangan sosio-ekonomi diganti dengan penekanan terhadap
identitas etnis dan kepentingan politik negara.
Lagu-lagu Endro Wilis pun tersingkir dari gelanggang
kesenian. Jika pun ada, tidak jarang lagu-lagunya dibawakan tanpa menulis nama
pengarangnya atau liriknya diubah. Salah satu lagunya yang bercerita tentang
perburuan “simpatisan komunis”, Mbok Irat, diubah dengan brutal oleh kawannya
sendiri.
Namun, siasat tertentu mulai diambil untuk
mengembalikan karya-karya Endro Wilis ke masyarakat. Pengubahan lirik yang
tidak terlalu signifikan terhadap Podho Nginang pun dapat dimaklumi.
‘Revitalisasi’ ini dilakukan oleh Slamet Menur bersama kelompok Angklung Soren,
kawan Endro Wilis dalam Sri Muda dulu. Slamet ingin Podho Nginang dapat dikenal
lagi dengan ‘aman’, serta untuk menghindari asosiasi brutal kebangkitan komunis
yang dialamatkan secara serampangan.
Meski ia bukan lagu tradisional, Podho Nginang
berhasil merekam sejarah panjang Banyuwangi yang selalu lekat dengan kisah
perlawanan. Narasi dalam lagu tersebut turut menantang sejarah yang
dikonstruksi oleh berbagai kekuasaan tentang rakyat Blambangan. Podho
Nginanglahir pada masa pencarian sekaligus pembentukan identitas kebudayaan
nasional dan turut berperan dalam upaya dekolonisasi. Sayangnya, babak
dekolonisasi yang tinggal landas pada masa Sukarno itu mesti berhenti ketika
Orde Baru berkuasa.
Penelusuran singkat ini setidaknya membuat saya sadar.
Cerita memenangkan lomba paduan suara internasional akan berbeda jika Podho
Nginang tidak ada. Tanpa adanya peninggalan sejarah ini, tidak akan ada pula
ingatan masa SMA yang mengantarkan saya pada penelusuran ini. Endro Wilis telah
membuktikan pada sejarah bahwa ia adalah seniman yang layak diperhitungkan.
Guru saya mencari karyanya untuk ditulis ulang, sementara saya mencarinya untuk
dikabarkan. Bukan kebetulan jika kami sama-sama menyanyikan lagu seorang seniman
LEKRA. (*)
Artikel ini dimuat di Jurnal Ruang, 13 Juli 2018
0 comments:
Posting Komentar