Musim Kelima Dunia dan Abad Genosida





Dimuat di Jurnal Ruang

Jalan bebas hambatan menuju Bandara Sacramento lengang sore itu, di dalam taksi Geoffrey B. Robinson bertanya, “Jadi, bagaimana pengalaman Anda di Amerika?”

Perlu waktu sejenak untuk merangkum perjalanan yang sebentar tapi kaya pengetahuan baru itu. Saya hanya berkata, “Saya tak menyangka, betapa jauh ketertinggalan kasus pembunuhan massal 1965-1966 di Indonesia dibanding dengan yang lain, serta betapa sedikitnya peneliti Indonesia yang mengkaji perihal ini jika dibandingkan kasus-kasus lain, semisal Holocaust, Genosida Armenia, ataupun Genosida Rwanda,” lalu saya menghitung para peneliti itu dengan kedua telapak tangan bersama Robinson. Hitungan dengan kedua telapak tangan saya saja masih cukup.

Beberapa jam sebelumnya, Robinson dan saya masih berada di Ruang Red Wood University of Union, California State University Sacramento, California (CSUS).

Satu panel di hari ketiga konferensi itu disediakan penuh untuknya. Saya berada di barisan duduk terdepan agar dapat mendengarkan presentasi kali ini dengan saksama. Kehadiran saya di acara ini dapat dikatakan terjadi berkat artikel yang merupakan versi panjang dari tulisan yang pernah dimuat di Ruang mengenai sejarah lagu “Podho Nginang” yang memiliki keterkaitan ingatan dengan saya.
Robinson adalah profesor departemen sejarah University California Los Angeles (UCLA). Ia telah menerbitkan beberapa buku, The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali, “If You Leave Us Here We Will Die”: How the genocide stopped in East Timor, dan yang paling mutakhir adalah The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres 1965-66. Ia pernah mengampu peran sebagai kepala riset untuk Amnesty International selama enam tahun sejak 1997. Salah satu pengalaman jenakanya saat bertugas adalah ketika ia bertemu Mochtar Kusumaatmadja saat Mochtar bukan lagi menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Mochtar menyebut kepada Robinson bahwa kepala Riset perihal Indonesia untuk Amnesty International memegang kartu anggota Partai Komunis Indonesia. Mochtar tidak tahu bahwa Robinson adalah kepala riset yang ia maksudkan.[1]

Pengalaman Robinson itu bukan tanpa sebab. Tuduhan tunggangan komunisme yang dialamatkan kepada Amnesty International oleh rezim Orde Baru disebabkan oleh aksi lembaga ini yang mengkampanyekan secara besar-besaran pembebasan tahanan Kamp Pulau Buru. Akibatnya, mereka dituduh ditunggangi komunis. Tidak hanya Robinson dan Amnesty International yang menerima peluru bahaya laten komunisme Orde Baru, cap itu juga ditembakkan kepada para pengkritik rezim Suharto.

Permasalahan Bahaya Laten Komunisme atau kebangkitan komunisme menjadi senjata politik sampai saat ini. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan dan mengapa hantu tersebut selalu dipanggil dari kuburnya setiap panggung politik nasional mulai disorot—terutama tiap menjelang pemilihan umum?
Persoalan pelabelan sembarangan serta isu kebangkitan komunisme itu setidaknya mengakar sejak pembunuhan massal 1965-1966 kepada mereka yang dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September dan mereka yang berafiliasi dengan PKI.

Mengubah Narasi Sejarah yang Berseragam

Musim Menjagal mendedahkan tirai abu-abu salah satu genosida terbesar dalam abad ke-20 yang menimpa lebih dari lima ratus ribu orang Indonesia yang tidak pernah dibuktikan bersalah di pengadilan. Karya mutakhir Robinson ini diberi pengantar oleh Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo. Agus Widjojo menunjukkan bagaimana sikap salah satu pemangku kepentingan dalam upaya rekonsiliasi. Secara langsung atau tidak, tentu ia membaca bahwa institusinya di masa lalu berperan dalam pembunuhan massal mulai dengan mempersenjatai sipil, memfasilitasi kendaraan, menyediakan tempat penahanan, serta memberi daftar sasaran.

Dalam pengantarnya, ia membela narasi resmi dengan mengatakan, “Tidak ada satu pihak pun yang dapat menyatakan hanya dirinya yang menjadi korban dari peristiwa kekerasan dan menunjuk pihak yang berlawanan sebagai pihak yang melakukan tindak kekerasan.” Sederhananya, pembuktian terhadap peran penting Angkatan Darat dalam melakukan kekerasan tidak bisa ditunjuk. Sementara, model pembunuhan massal di Indonesia yang sistematis, terkoordinasi, cepat dan meluas itu mustahil bisa dilakukan tanpa peranan Angkatan Darat.

Seperti yang disinggung di atas, narasi aksi spontan atas kemarahan masyarakat terhadap PKI, ketegangan agama, budaya dan sosial dan ekonomi selalu digemari oleh kekuasaan yang berusaha membenarkan pembunuhan massal. Akan tetapi, ketegangan itu dimanfaatkan oleh Angkatan Darat setiap daerah untuk membakar dan memobilisasi ketegangan tersebut dalam rangka kampanye penghancuran gerakan kiri. Variasi waktu dan tempat pembunuhan massal terangkum pula dalam buku ini, menunjukkan keterlibatan sentral angkatan bersenjata ini dalam memobilisasi massa.
Selanjutnya, isi pengantar yang menarik justru datang dari penulisnya sendiri, Robinson menggarisbawahi serta menegaskan bahwa ia tidak cukup naif. Ia nyatakan bahwa mungkin saja bukunya akan mengubah arah sejarah atau bahkan sedikit membelokkannya.[2]

Narasi awal buku ini membentangkan sejarah kolonisasi Indonesia oleh Belanda dan Jepang hingga Agresi Militer Belanda pasca-Proklamasi Kemerdekaan.

Bentangan beberapa kejadian penting dalam sejarah republik itu memberikan konteks—dan pada pembahasan mengenai lintasan sejarah selanjutnya menjelaskan prakondisi yang melatarbelakangi bahasa kekerasan dalam peristiwa penjagalan massal 1965. Pokok penting dalam periode itu adalah faksional dan friksi dalam tubuh Angkatan Darat.

Hal ini nantinya membuat tiga kekuatan besar menjadi pemain kunci dalam peristiwa ini, yaitu Sukarno, Angkatan Darat, dan Partai Komunis Indonesia. Kita akan menjumpai narasi detail pembunuhan massal diurai secara rinci berdasarkan narasi-narasi yang dihimpun dari wawancara ataupun memoar, yang menarik dalam uraian ini adalah model cara pembunuhan massal, pelaku yang terlibat, serta motif di baliknya.

Pokok penting dari rincian buku ini adalah pengujian kembali klaim-klaim di balik pembunuhan massal yang didukung oleh narasi resmi atau paling disukai rezim. Semisal Budaya Amuk sebagai latar legitimasi pembunuhan massal,[3] serta uraian beberapa temuan fakta dari arsip rahasia yang telah dideklasifikasi, yakni catatan Departemen Luar Negeri Inggris dalam laporan Desember 1965 terkait Indonesia, yang memberi konteks ketegangan politik internasional Perang Dingin—dan menjadi dasar atas dugaan keterlibatan asing dalam peristiwa ini. Hal pertama tadi hampir dilakukan dalam semua fakta mengenai pembunuhan massal 1965 seperti peninjauan ulang interpretasi John Roosa, dan yang kedua adalah untuk memberi gambaran lebih luas mengenai latar belakang politik internasional.

Kajian soal dalang pembunuhan massal pada teks-teks resmi pemerintah menekankan dan membesar-besarkan kondisi sosial dan budaya lokal sebagai penyebab penjagalan, sementara mengecilkan peran Angkatan Darat dalam menggerakkan dan mengorganisir kekerasan.

Retorika perang dan pengkondisian situasi gawat disengaja untuk menghadirkan kecemasan di lapangan. Tujuannya satu, seperti yang juga dikatakan oleh Soeharto pada 1 Oktober dalam siaran radio RRI, yakni memberantas gerakan kiri di Indonesia sampai ke akar-akarnya.

Bertahun setelahnya saat aktivis HAM transnasional mengungkit kembali perihal keberadaan kamp konsentrasi di Pulau Buru yang menampung para tahanan politik, Suharto mengulangi retorika tersebut sebagai pembelaannya [4]

Dua hal yang dirinci oleh Robinson mengenai peran Angkatan Darat dan polarisasi politik internasional dalam masa Perang Dingin adalah alasan bahwa perubahan 1965-1966 sulit datang dari dalam. Warisan repertoar kekerasan yang dibangun Orde Baru semakin menegaskan hal itu, ditambah peranan Amerika dan negara Barat lainnya dalam membungkam upaya-upaya pengungkapan peristiwa pembunuhan massal ‘65. Tekanan yang datang dari Amerika pada masa Presiden Carter terhadap Kamp Pulau Buru pun diterima oleh pemerintah kita lantaran kondisi negara waktu itu yang membutuhkan pinjaman modal asing.

Menariknya, para periode sebelum, selama, dan sesudah pembantaian massal, Amerika memberikan bantuan ekonomi dan politik sehingga negara ini terlihat terlibat dalam kepentingan politik untuk menghancurkan gerakan kiri. Pada kenyataannya, Duta Besar AS untuk Indonesia pada saat itu tampak ragu atas motif PKI untuk merebut kekuasaan seperti yang dipropagandakan narasi resmi, tapi ia memilih diam. Setelahnya, AS menekan Indonesia atas Kamp Pulau Buru karena kemunculan kesadaran gerakan HAM Internasional.

Masalah terakhir yang membuat pembunuhan massal 1965-1966 menjadi ironi adalah dampaknya terhadap pengakuan sejarah oleh masyarakat Indonesia sendiri yang mengecilkan atau bahkan menihilkan peranan gerakan kiri dalam modernisasi atau kebangkitan nasional Indonesia sejak awal abad ke-20. Penghargaan terhadap masa lalu, pembungkaman terhadap cara berpikir kritis, adalah dampak yang paling berat bagi Indonesia.

Masalah yang cukup fundamental tersebut dikarenakan satu peristiwa yang cukup rumit: penghancuran gerakan kiri pasca-65.

Mendefinisikan Pembunuhan Massal 65

Setelah uraian cukup panjang, dan waktu sudah memasuki tanya jawab, satu pertanyaan sederhana ditujukan kepada Robinson, “Mengapa Anda menamai ini sebagai pembunuhan massal dan bukan sebagai genosida?”

Sebelum ini, genosida bagi saya masih abu-abu, tidak begitu definitif, kecuali yang saya dengar dari lagu Gun N’ Roses, “Civil War”. Belakangan, saya tahu bahwa istilah itu ditemukan oleh Raphael Lemkin, seorang pengacara Yahudi dan penyintas Holocaust Hitler dan selanjutnya istilah itu menjadi populer setelah Konvensi Genosida 1948. Dalam menjawab pertanyaan ini, Robinson membalas bahwa ia memang ingin berfokus pada pembunuhan massal secara umum dan menambahkan bahwa penggolongan peristiwa pembunuhan massal 1965-1966 di Indonesia sebagai genosida dapat dijejak lewat kajian Robert Cribb[5], atau lewat terbitan buku terbaru oleh Katharine McGregor dan Jess Melvin[6]. Dalam kasus 1965-1966, kita bisa menamainya politisida[7] karena klasifikasi kasus ini terbilang rumit jika dipaksakan mengacu pada definisi genosida dalam Konvensi Genosida 1948 yang tidak menyebut pemusnahan suatu kelompok dengan pandangan politik tertentu. Namun terlepas dari itu, genosida tentu adalah tindakan politis.

Pembunuhan massal 1965-1966 bagi orang-orang yang duduk di ruang ini adalah narasi yang asing dan jarang terdengar. Berbeda dengan Holocaust atau pun genosida Armenia. Kasus di Indonesia adalah salah satu kasus pembunuhan massal paling buruk di abad kedua puluh, tetapi dunia Internasional tidak tahu.
Mengapa?

Mengatasi Beban Sejarah Genosida 65 dengan Bersuara

Sukarno yang menolak memihak blok barat dalam Perang Dingin adalah salah satu alasan terkuat intervensi asing, selain pengesahan Undang-undang Pokok Agraria yang kemudian dibarengi Aksi Sepihak dan berbagai bentrokan. Operasi Rolling Thunder di Vietnam, Perang Semenanjung Korea, Konfrontasi Malaysia, Perang Teluk Babi adalah lanjutan dari babak baru setelah Perang Dingin.
Tidak berlebihan jika Robinson menamai masa ini sebagai musim menjagal, suatu musim kelima dunia yang disebabkan oleh Perang Dingin. Saya teringat salah satu cerpen Iksaka Banu dalam Ratu Sekop, bahwa mungkin kelak dunia akan menamai abad ke-20 sebagai Abad Genosida.

Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, saya masih membayangkan bagaimana nasib kejelasan korban kekerasan massal Indonesia di masa depan? Sikap penolakan untuk mengakui bahwa negara telah terlibat dalam pembunuhan ratusan ribu orang dan merampas hak-hak jutaan lainnya yang tidak pernah dibuktikan bersalah membuat jalan pencarian kebenaran terhadap kasus ini berhadapan dengan jalan buntu. Dalam waktu dekat, dengan polarisasi politik yang masih menggunakan narasi lama soal bahaya laten komunisme dan impunitas hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM, hal yang paling memungkinkan adalah untuk terus bersuara tanpa kenal kata menyerah. Walaupun upaya pencarian titik terang itu selalu dihalangi dengan retorika lama, “membuka luka masa lalu” tapi tidak ada yang salah untuk selalu berjuang.

Langit Sacramento hari ini cerah, ada pertanyaan lain yang dilempar Robinson sebelum kami berpisah, “Jadi, kenapa kamu tertarik untuk mencari tahu soal genosida ’65?”

Kali ini saya tidak butuh waktu lama untuk menjawab, “Seperti Anda juga, sejak mengetahui fakta pembunuhan massal itu dalam sejarah Indonesia, saya muak dan marah. Beban ini mau tak mau menjadi beban generasi saya dan seterusnya. Kami tidak akan bisa beranjak ke masa depan jika masa lalu yang kelam ini belum beres.” Mendengar hal itu Robinson menampakkan wajah simpati.

Di udara California, saya mengingat barisan pelanggaran HAM yang masih belum selesai. Di telinga saya, terputar lagu “Semboyan” besutan Tigapagi. Perlahan-lahan, petikan gitar memudar dan mulai terdengar lirik dinyanyikan, “Wajah yang hilang berkisar di angka 500 ribu jiwa // Perkaranya pun praduga, gugurkan tujuh sekawan // Kabar ditebar terpapar membakar kesumat seluruh rumah // Hingga mulai bernyali langkahi peran Ilahi.”

Kepustakaan
Cribb, Robert. 2001. “Genocide in Indonesia, 1965-1966” dalam Journal of Genocide Research 3, no. 2
McGregor, Katharine; Jess Melvin; Annie Pohlman. 2018. The Indonesian Genocide of 1965: Causes, Dynamics and Legacies. Palgrave Macmillan.
Melvin, Jess. 2018. Army and The Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder. London: Routledge.
Robinson, Geoffrey. 2018. Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966. Depok: Komunitas Bambu


[1] Geoffrey Robinson. Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966. Depok: Komunitas Bambu. hlm. 342.
[2] Ibid., hlm. xvi
[3] Ibid. hlm. 183
[4] Ibid., hlm. 315
[5] Baca Robert Cribb. 2001. “Genocide in Indonesia, 1965-1966” dalam Journal of Genocide Research 3, no. 2
[6] Baca Katharine McGregor, Jess Melvin, Annie Pohlman. 2018. The Indonesian Genocide of 1965: Causes, Dynamics and Legacies. New York: Palgrave Macmillan.
[7] Jess Melvin. 2018. Army and The Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder. London: Routledge. hlm. 40


x

0 comments:

Posting Komentar