Jejaring Literasi Keluarga Solusi Kesenjangan Minat dan Selera Baca

Ilustrasi oleh Kelana Wisnu

Bumi manusia dengan segala persoalannya memang tidak pernah kemput untuk dipahami sampai mati, tetapi Ihsan menyelesaikan judul pertama Tetralogi Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer pada kelas 1 SMP. Lima tahun lebih muda dari saya ketika mengatamkan kisah Minke dan Annelies tersebut. Saya tercengang ketika melihat ia mengembalikan buku itu ke Lapak Pijar. Ia benar-benar membacanya dan mampu menceritakan ulang kembali secara sederhana.  Tetapi, siapa yang tahu jika ada seorang pembaca muda potensial yang mengembalikan buku itu ke sebuah lapak pustaka kecil di bawah pohon taman kota Blitar untuk mencari sekuelnya? Meskipun sayang, Anak Semua Bangsa yang tengah ia cari tengah dipinjam. Peristiwa tiga tahun yang lalu itu membuat saya menyimpan harapan pada masa depan. 
Persoalan yang muncul dari preferensi baca pengunjung lapak bacaan Pijar tadi masih membekas dalam ingatan saya. Lapak baca yang saya inisiasi dengan beberapa kawan-kawan tiga tahun lalu tersebut itu menyisakan satu pertanyaan besar, bagaimana mengatasi kesenjangan minat dan selera baca masyarakat? Saya sadar pertanyaan ini terlampau besar, fokus pertanyaan itu awalnya dihadapkan kepada para pegiat tapi saya akan coba mengurainya dalam konteks yang lebih umum.
*
Gerakan literasi seperti lapak baca Pijar tidak bermaksud untuk menggantikan peran perpustakaan konvesional. Tujuan beberapa gerakan literasi nampaknya serupa tapi tak sama, yakni memindahkan buku yang bertengger di rak-rak rumah ke ruang publik sebagai alat sosial atau pertukaran budaya, membuka ruang diskusi publik serta dialog antarpembaca. Kami melapak setiap hari minggu mulai pukul 9 sampai azan zuhur di Kebon Rojosalah satu taman kota Blitar. Biasanya, selepas siang, taman kota mulai sepi lagi. Selain melapak, kami membuat program klub baca atau nonton bareng, bertukar refrensi daftar putar musik, dll. Salah satu program yang diinisiasi penggiat paling militan Pijar, Mbak Ratna adalah Ngabuburead.

Ngabuburead menjadi salah satu program Pijar pada bulan puasa. Biasaya kami akan melapak di beberapa tempat yang sering dilewati atau dikunjungi orang untuk menunggu waktu buka puasa. Kami juga menunggu waktu buka puasa kawan baca Pijar yang tinggal di sebuah gang di Jalan Madura. Perjumpaan dengan mereka itulah yang membuat kami berpikir tentang peran keluarga dan literasi. 
Kami menyebut mereka “Geng Madura”. Sebelum kami datang ke kampung mereka, Revi dan kawan-kawan lainnnya biasanya berkunjung ke lapak Pijar. Mereka adalah pembaca setia Pijar. Kesetiaan mereka tersebut membuat Mbak Ratna membuat strategiGeng Madura ini akan jadi pustakawan-pustakawan kecil yang melayani dirinya sendiri. Mbak Ratna biasanya berkunjung setiap dua minggu sekali untuk menaruh buku dalam kotak. Ia meninggalkan buku catatan peminjaman di dalamnya. Para anak-anak diajari untuk menulis daftar peminjaman buku, bertugas melayani peminjammulai dari mencatat sampai mengurus buku-buku itu. 




Perjumpaan dengan Geng Madura dan dinamika yang terjadi dalam komunitas Pijar mengantarkan saya pada pertanyaan-pertanyaan, apa itu literasi, bagaimana peran keluarga dalam budaya literasi, serta apa yang dapat dilakukan keluarga dalam meningkatkan budaya literasi? Sebelum itu, apa sebenarnya makna literasi yang sering disebut belakangan ini?
*
Masyarakat telah akrab dengan kata literasi yang kadang dipahami sebagai aktivitas membaca buku cetak atau elektronik. Pengertian literasi yang akan dipaparkan selanjutnya beragam, tapi definisi literasi menurut UNESCO adalah sebagai berikut:
 …kemampuan untuk mengenali, memahami, menginterpretasi, membuat, mengkomunikasikan, dan mengkomputasi, menggunakan material cetak atau tertulis yang berhubungan dengan bermacam konteks yang melibatkan rangkaian pembelajaran dalam memberdayakan individu untuk mencapai tujuan-tujuannya, untuk mengembangkan wawasan serta potensinya, dan untuk berpartisipasi secara penuh dalam komunitas atau dalam masyarakat yang lebih luas. (UNESCO, 2005: 27)
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, literasi bukan sekadar aktivitas yang berhubungan dengan buku cetak. Clinard (2005: 3) mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk berpikir, berbicara, mendengar, membaca, dan menulis untuk menyelesaikan masalah, tugas yang kompleks, dan mengkomunikasikan keinginan, kebutuhan, dan gagasan. Praktik literasi dengan demikian bergantung serta berkembang dari konteks sosial dan budaya yang berbeda-beda dari tempat tinggal orang. Definisi tersebut dapat disimpulkan dengan pendapat Behrman (2004: 22-28) yang menyebut budaya literasi sebagai perilaku membaca yang terintegrasi, pelatihan kepercayaan, dan pengetahuan. Street (1993: 1-21) mempertahankan pandangan yang melihat literasi sebagai masalah yang secara ekslusif berhubungan dengan membaca dan menulis adalah suatu pandangan yang problematik karena hal tersebut menyerdehanakan pengalaman masyarakat yang memiliki tradisi oral yang cukup panjang. Pendapat serupa juga diutarakan oleh Walter J. Ong (1982), memahami literasi sebagai keterampilan teknis serta universal dan didasarkan pada proses kognitif yang dapat diprediksi memiliki kesamaan. Dengan demikian, budaya literasi bukan sekadar sebuah praktik membaca buku tapi lebih dari itu, ia melibatkan kesatuan aktivitas berpikir serta bertindak.
Pengembangan budaya literasi dengan demikian tidak dapat dilepaskan dari persoalan sosio-kultural yang kompleks. Ia bukan aktivitas otonom yang hanya melibatkan individu. Perkembangan literasi menurut McLane dan McNamee (1990) adalah sebuah proses sosial yang mendalam. Aktivitas literasi tertanam dalam hubungan sosial khususnya dalam hubungan orang tua dan anak, saudara, kakek-nenek, teman, pengasuh, dan guru. Oleh karena itu peran keluarga dalam pengembangan budaya literasi menjadi sentral dalam bahasan ini.
*
Rumah tangga sering dipakai dalam konteks unit ekonomi, perannya dalam hal ini ditambah sebagai unit penggerak literasi. Sifat keluarga sebagai bagian dalam rumah tangga tersebut memiliki keaFnggotaan yang jelas dan struktur yang mapan adalah alasan untuk menjadikan keluarga sebagai tumpuan pengembangan budaya literasi. Tantangan menjadikan keluarga sebagai penggerak budaya literasi adalah alokasi anggaran rumah tangga. Pengeluaran terbanyak rumah tangga merupakan kebutuhan pangan. Sebagian besar keluarga kelas menengah ke bawah membutuhkan 50% pendapatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Konsumsi literasi sulit berkembang jika berhadapan dengan masalah kemampuan suatu keluarga untuk mengaksesnya. Terlepas dari hal tersebut, peran seperti apa yang dijalankan oleh keluarga dalam pengembangan literasi?
Ada beberapa faktor dalam perkembangan literasi anak untuk mencapai tingkat melek literasi yang diinginkan. Faktor-faktor tersebut termasuk sikap anak terhadap melek bacaan, latar belakang pengalaman dan kehidupan rumah mereka, serta pengaruh orang tua dan sosial. Morrow (1997) menekankan bahwa kualitas lingkungan literasi di rumah mempunyai hubungan yang erat dengan kemampuan literasi awal anak-anak. Lebih lanjut soal peran orang tua, menurut Dempsey (2010) sebelum mendidik anak-anak menjadi pembaca yang baik, para orang tua juga perlu menjadi pembaca dan contoh bagi mereka.

Akan tetapi kesadaran peranan orang tua dalam perkembangan literasi umumnya cukup minim. Bettelheim dan Zelan (1982) juga menyatakan orang tua perlu diyakinkan bahwa mereka adalah guru pertama anak-anak mereka, mereka juga berperan langsung pada efek pembelajaran dan pengembangan literasi anak-anak. Maka, orang tua hendaknya bersedia meluangkan waktu, sumber daya, dan energi mereka dalam memelihara pertumbuhan anak-anak mereka dalam persoalan melek bacaan. Selanjutnya kedua peneliti itu yakin bahwa orang tua dari semua lapisan masyarakat, semua tingkat ekonomi dan pendidikan dapat membantu menciptakan budaya keluarga yang mendorong anak-anak mereka untuk menjadi orang dewasa yang aktif melek huruf dan pembaca sepanjang hayat. Meskipun tidak dapat dinafikan, orang tua juga telah berperan mengenalkan literasi lewat tradisi lisan. Seperti yang kita tahu, orang tua di Indonesia umumnya memiliki kebiasaan mendongeng.
Dengan demikian orangtua menjalankan proses pertama penularan kebiasaan literasi kepada anaknya. Paratore dkk. (2011) menyatakan bahwa orang tua adalah sumber utama untuk pengembangan literasi awal dan penanaman kebiasaan membaca yang baik di antara anak-anak, sehingga membuat mereka menjadi pembaca yang bersemangat, mau serta responsif melalui interaksi dengan mereka di bulan-bulan pertama dan tahun-tahun kehidupan. Hal itu juga dianjurkan oleh Mehan (1992: 1-20), dalam penelitian tentang pemahaman ketidaksetaraan di rumah dan sekolah ia berpendapat bahwa orang tua dan pendidik bekerja secara kooperatif untuk memodifikasi lingkungan belajar sekolah. Hal-hal tersebut menyebabkan rumah tangga adalah target yang cukup strategis untuk disasar dalam pengembangan literasi dengan tujuan yang sangat khusus, yakni mengatasi kesenjangan selera dan minat baca.
Keluarga seringkali terlanjur dilemahkan potensi literasinya dengan pilihan-pilihan di luarnya antara lain: sekolah dan dan perpustakaan konvensional. Padahal seperti yang disebut di atas, keluarga memiliki peranan yang cukup sentral dalam menularkan kebiasaan budaya literasi. Tetapi terkadang kita terlanjur menafikan peran mereka sebagai bagian dalam jaringan literasi. Maka permasalahan keluarga dalam persoalan ini menjadi bertambahmereka tidak sekadar bertugas  mengelola usaha serta pemenuhan pangankeluarga dapat menjadi pegiat-pegiat literasi untuk komunitasnya sendiri. Bagaimana hal yang paling memungkinkan untuk diwujudkan beberapa unit rumah tangga, semisal dalam satu rukun tetangga dalam pengembangan budaya literasi tersebut?
*
                Jaringan literasi kolektif yang mulai bermunculan dalam masyarakat bertumpu pada beberapa pegiat. Persoalannya bagaimana keanggotaan dari pembaca yang terlibat dalam gerakan tersebut? Mereka umumnya pasif, perannya hanyalah sebagai peminjam katalog yang disediakan kolektif literasi. Tetapi tidak semua kolektif bergerak dengan model seperti itu. Gubuk Cerita yang bergerak di Malang misalnya. Kolektif ini tidak membiarkan pembaca sekadar pasif tetapi juga mengajaknya terlibat dalam jaringan literasi tersebut.
                Gubuk Cerita menciptakan sistem katalog bersama. Judul-judul buku yang tersedia dalam katalog gerakan ini bukan milik para penggeraknya saja, tetapi kumpulan koleksi milik para pembaca yang bersedia meminjamkan bukunya. Tugas para penggeraknya adalah mengkatologisasi, membuat publikasi, menjemput serta mengantarkan satu buku dari rumah satu ke rumah yang lainnya. Dengan sumber daya manusia yang minim serta yang sifatnya sukarela, kerja-kerja tersebut jelas berat. Jika angka peminjaman meningkat misalnya, para penggeraknya bahkan sampai terserang tipes. Bayangkan saja, bagaimana misal ia harus mengantar buku Paulo Freire milik seseorang yang berkediaman dari Dinoyo ke Sawo Jajar—menggunakan sepeda! Tetapi sistem tersebut akan menjadi lebih ringan jika dikerjakan bersama.

                Sistem katalog kolektif tersebut dapat diterapkan dalam skala yang lebih kecil juga mengandalkan keluarga sebagai penggeraknya. Setiap rumah tangga setidaknya pasti menyimpan buku dengan jumlah yang bervariasi. Akses literasi dalam satu rukun tetangga dapat dikoordinir secara kolektif agar dapat diakses bersama. Sebelum menginisiasi aktivitas lainnya, membuat jaringan perpustakan atau jaringan literasi dapat diterapkan sebagai langkah awal untuk mempromosikan budaya literasi. Pertanyaannya, apa saja masalah yang akan ditemui dalam pembangunan jaringan literasi keluarga yang memberdayakan masyarakat serta lingkungannya ini?

Peta Konsep Jaringan Literasi Keluarga


                Suatu keluarga memiliki modal budaya, ekonomi, dan politik. Modal budaya dalam keluarga yang dimiliki sebuah keluarga adalah ilmu pengetahuan. Sebelum mencapai modal tersebut mereka membutuhkan kemampuan ekonomi untuk mengakses pengetahuan yang menjadi sumber ilmu pengetahuan tersebut, semisal buku. Seperti yang disinggung sebelumnya, kemampuan suatu keluarga dalam mengonsumsi buku jelas dipengaruhi oleh akses ekonomi mereka. Bagi keluarga kelas menengah ke bawah kedua persoalan tersebut merupakan kendala. Tetapi mereka memiliki modal sosial, yaitu kemampuan organik dalam bersosialisasi dengan para tetangga, persoalan kesenjangan selera dan minat baca dapat diminimalisasi jika para keluarga mapan yang memiliki modal budaya dan ekonomi bersedia menjadikan buku-buku yang dimiliki untuk diakses secara terbuka. 
                Tujuan dari membuat Jaringan Literasi Keluarga (JLK) dengan peta konsep di atas adalah menciptakan keluarga literat, atau keluarga yang melek bacaan. Seperti yang disebut di atas, keluarga memiliki peran pertama dalam menularkan kebiasaan membaca. Keluarga yang membaca akan menghasilkan turunan yang gemar membaca pula meskipun dengan preferensi yang berbeda. Semisal saya sekarang menyukai buku sejarah. Tetapi bacaan awal saya adalah novel-novel Dan Brown seperti Da Vinci Code. Judul buku itu saya pilih karena melihat kakak saya membacanya. Mungkin tetangga saya tidak mengetahui jika kami memiliki novel tersebut, kami  juga tidak mengetahui refrensi bacaan yang berada dalam rak buku tetangga kami. Dengan membuat jaringan literasi keluarga, hal tersebut dapat dijembatani. Buku tetap berada di rak masing-masing rumah tangga, jaringan hanya berperan memberikan akses pada setiap buku yang dimiliki per rumah tangga untuk keluarga lainnya.
                JLK dapat dikoordinasikan per rukun tetangga. Dalam menjalankan inisiasi jaringan literasi ini, ketua Rukun Tetangga perlu menjadi fasilitator atau penanggung jawab program. Negosiasi antarwarga dalam satu rukun tetangga adalah hal yang diperlukan untuk menjalankan jaringan. Dengan teknologi dewasa ini, para keluarga dapat membuat grup WhatsApp misalnya untuk saling berkomunikasi dan memutahirkan aktivitas literasi mereka. Dalam suatu rukun tetangga, jaringan literasi keluarga ini dapat dikerjakan secara bergotong royong dengan pembagian tugas. Tugas-tugas yang perlu diisi dalam gerakan ini antara lain adalah membuat katalog bersama. Katalog bersama diperlukan untuk saling mengetahui variasi judul buku yang dimiliki per kepala tetangga, setelah itu katalog tadi dapat disebar per rumah tangga. Dengan demikian, akses bacaan yang tadinya bersifat privat menjadi milik bersama dan dijaga secara kolektif. Jika pertukaran bacaan telah terjadi kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan literasi dapat diinisiasi.
                Gagasan JLK membuat persoalan kesenjangan akses pengetahuan menjadi persoalan bersama. JLK dapat berperan dalam pengembangan budaya literasi karena sifatnya yang partisipatoris. Setiap anggota rumah tangga dituntut untuk berpikir mengenai jalannya gerakan; berbicara dalam konteks distribusi pengetahuan, semisal membuat diskusi mengenai buku yang telah dibaca dalam satu unit rumah tangga, dan dalam skala yang lebih luas menginisiasi diskusi dalam satu rukun tetangga atau antarrukun tetangga; mendengar setiap permasalahan yang terjadi, seperti pembaharuan katalog; kemampuan membaca pun secara tidak langsung juga dituntut untuk berkembang seiring berjalannya peningkatan kebutuhan katalog buku yang dibutuhkan; JLK juga mengajarkan menulis, semisal untuk meninjau aktivitas membaca para anggota rumah tangga mereka dapat membuat satu sistem resensi buku atau testimoni baca; jaringan ini juga dapat menjadi ruang belajar bagi masyarakat untuk menangani tugas yang kompleks, mengkomunikasikan keinginan, kebutuhan, dan gagasan. Seiring berjalannya jaringan, inisiasi lainnya juga dapat timbul semisal nonton bareng atau membuat lokakarya penulisan, lokakarya kerajinan tangan, atau aktivitas-aktivitas kreatif lainnya.

                Jika JLK mendapat dukungan dari pemangku kebijakan serta dukungan dana dari komponen lain yang ada dalam masyarakat, untuk mempermudah sistem katalogisasi serta koordinasi. JLK dapat didukung dengan pemberdayaan aplikasi berbasis gawai. Hadirnya aplikasi dapat memecahkan persoalan pekerjaan rumit menjadi ringkas. Tunjangan digital dalam jaringan ini juga memudahkan para anggota untuk mengecek ketersediaan buku, daftar peminjam buku serta dapat menjadi pengingat waktu pengembalian. Hadirnya aplikasi tidak akan mengubah pola komunikasi, ia hanya mempermudah. Konsep jaringan literasi juga dapat mempererat keakraban tetangga.
JLK dapat menjadi pendukung Gerakan Literasi Keluarga yang menjadi salah strategi Gerakan Literasi Nasional, yaitu penguatan kapasitas fasilitator, peningkatan jumlah dan ragam sumber bacaan bermutu, perluasan akses terhadap sumber bacaan dan cakupan peserta, penguatan pelibat publik serta penguatan tata kelola (Gerakan Literasi Nasional, 2017: 22). Seperti yang juga telah disebut sebelumnya, JLK juga dapat menjadi bagian GLN, khususnya menambah strategi Gerakan Literasi Keluarga yang memiliki strategi implemantasi dalam melibatkan kementrian, lembaga, pemda, dunia usaha dan indsustri, serta media massa dalam mengembangkan literasi di sekolah atau di masyarakat; menyelenggarakan pertemuan rutin orang tua orang tua murid/wali murid dengan pihak sekolah; penyelenggaraan festival literasi serta pelibatan perguruan tinggi dalam penelitian dan pengembangan. (Gerakan Literasi Nasional, 2017: 46).
Sementara anak-anak dapat belajar bertanggung jawab secara aktif dalam menjalankan perannya sebagai anggota keluarga. Keterlibatan orang tua dalam gerakan JLK akan menginspirasi mereka dalam keseharian. Pola gerakan literasi yang berkelanjutan dengan sifatnya yang cair akan merangsang daya imajinasi anak-anak untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang ingin mereka capai. 
Jaringan literasi yang dibentuk dapat menjadi jawaban atas masalah kesenjangan selera baca. Variasi judul buku yang dimiliki setiap unit rumah tangga dapat diakses dengan mudah oleh setiap warga. Mereka dapat bertukar cerita pengalaman membaca tersebut sehingga kesenjangan selera baca dapat ditekan. Secara tidak langsung minat baca dari suatu komunitas tersebut dengan sendirinya juga meningkat karena aktivitas yang terjadi di dalamnya turut menginspirasi satu sama lain. Pemutakhiran bacaan setiap anggota jaringan menjadi perlu karena mereka membutuhkan acuan untuk dapat terlibat dalam setiap obrolan yang berhubungan dengan literasi. Dengan demikian, fungsi buku berubah tidak sekadar menjadi objek materi, tetapi seperti yang diungkapkan Robert Escarpit (2005: 17), ia menjadi alat pertukaran budaya. Senada dengan itu, Jean Paul Sartre (1949) juga mengatakan bahwa kita dapat menentukan sendiri definisi buku, dengan demikian buku adalah mesin untuk dibaca yang memunculkan benda konkret dan khayalan, yakni buku yang ditulis dengan nalar.
*
JLK juga dapat menjadi cara untuk mempromosikan budaya literasi. Mempromosikan budaya literasi, seperti yang dikatakan Paulo Freire (1994) akan membantu masyarakat dalam menghadapi tantangan dalam keseharian serta menguatkan kemampuan masyarakat dalam berpartisipasi dalam bermacam kegiatan yang bertujuan untuk mempromosikan pemerintahan yang bersih dan demokratis. Masyarakat dapat menggunakan kemampuan literasinya untuk berpartisipasi secara penuh dalam pengembangan masyarakat, menaikan kualitas hidup mereka, membuat keputusan-keputusan yang tepat, mengembangkan cara berpikir kritis dan otonom, dan terus belajar.
Dengan demikian JLK dapat menyumbangkan suatu pola kerja yang dapat membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Kachala (2007) mengegaskan bahwa promosi budaya membaca penting dalam artian masa depan seluruh warga negara membutuhkan swadidik, dan pembelajaran yang berkelanjutan. Oleh karena itu pancapaian akademik yang unggul tidak bisa tercapai dan berkelanjutan tanpa adanya budaya literasi untuk pengembangan diri secara berkelanjutan. Maka perkembangan literasi dapat dimulai dari setiap unit rumah tangga yang menjadi basis paling dasar perkembangan setiap anggota masyarakat dalam suatu komunitas. Meskipun persoalan dalam bumi manusia tidak akan pernah kemput untuk dipikirkan atau diselesaikan, tetapi setidaknya persoalan pengembangan budaya literasi tersebut dapat menjadi tanggungan bersama. []



Daftar Pustaka:

Behrman, C. 2004. The culture of reading in a public school: Ethnography, service-learning, and undergraduate researchers. Expedition, 46.


Dempsey, J. D. 2010. Present yout way to the top. New York: McGraw Hill.

Escarpit, Robert. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Pusataka Obor Indonesia.

Freire, P. 1994. Pedagogy of Hope Reliving pedagogy of the oppressed. New York: Continuum.


Gerakan Literasi Nasional. 2017. Panduan Gerakan Literasi Nasional.  Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.


Gerakan Literasi Nasional. 2017. Peta Jalan Gerakan Literasi Nasional. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

Kachala, F.  F.  C. 2007.  Developing a reading culture among the rural masses of Mwambo, Zomba  District,  Malawi:  a  concept  for  the  21st century  and  beyond. 

McLane,  J.  B.  &  McNamee,  G.  D.  1990.  Early  literacy.  Cambridge,  Ma:  Harvard University Press.

Mehan,  H.  1992.  Understanding  inequality  in  schools:  The  contribution  of  interpretive studies. Sociology of education. 

Morrow, L. M. 1997.  Literacy development in the early years: Helping children read and write. Boston: Allyn and Bacon.

Ong, W. J. 1982. Orality and literacy: The technologizing of the word. London: Methuen.

UNESCO. 2005. Education for All: Literacy for Life Global Monitoring Report 2006. Paris: UNESCO.

Paratore,  J.  R., Cassano,  C.  M.,  &  Schickedanz, J.  A.,  2011.  “Supporting  early  (and  later) literacy development at home and at school” dalam M. L. Kamil, P. D. Pearson, E. M. Birr &  P.  P.  Afflerbach  (Eds.), Handbook  of  Reading  Research.  Vol.4.  New  York  & London: Routledge

Sartre, Jean Paul. 1949. What is Literature.  New York: Philosopical Library.

Street,  B.  V.  1993.  “Introduction:  The  new  literacy  studies”  dalam  B.  V.  Street  (Ed.),  Crosscultural approaches to literacy. Cambridge: Cambridge University Press.

#SahabatKeluarga #LiterasiKeluarga

38 komentar:

  1. Di rumah keluarga saya terdapat terlalu banyak buku yang memenuhi dua rak setinggi 2 meter dan selebar 1 meter yang kurang terurus. Suka sedih ketika pulang melihat buku-buku didiamkan begitu saja, bahkan saya sendiri tidak menyentuhnya. Konsep jaringan literasi yang dijelaskan sepertinya bisa coba diaplikasikan mengingat tetangga sekeliling rumah sebagian besar pensiunan dan memiliki cucu-cucu masih kecil, dua kelompok umur yang punya banyak waktu luang untuk membaca.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih udah mampir dan membaca, Lat, terima kasih juga ngingetin buat proofread.

      Hapus
  2. Wah, menarik untuk aplikasi di kondisi keluarga yang anak-anaknya sudah pada besar. Suka sedih orang tua udah pensiun dan pastinya mereka bosan sama rutinitas repetitifnya, gak tega juga karena saya dan kakak saya sementara gak tinggal di rumah karena masa studi. Di rumah papah koleksi bukunya banyak, beliau juga senang kumpul sama anak-anak meskipun ayah saya gak begitu ngerti caranya dekat sama anak kecil, tapi beliau senang sekali kalau ada anak yang kepoin buku dia ketika sedang baca di teras. Saya bakal share ayahku soal konsepnya, mantap

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kata kunci pensiunan udah muncul dua kali, kayanya golongan itu bisa dijadikan studi kasus juga.

      Hapus
  3. Membaca definisi "keluarga literat" sedikit menohok mengingat bahwa keluarga saya bukan dari keluarga akademis, apalagi gencar membaca. Kesadaran membaca sepertinya hanya dimulai dari anak kedua dan berakhir di anak ketiga, saya. Kedua adik generasi Z sudah enggan untuk menyentuh buku-buku lama milik saya. Sedikit cara yang sudah saya lakukan untuk adik-adik adalah memberikan mereka buku baru untuk menjadi bahan bacaan. Mungkin, konsep jaringan literasi diatas akan menjadi cara baru untuk saya berikan pada adik-adik.

    BalasHapus
  4. Kerasa sih gimana keluarga punya peran dalam ngenalin saya sama buku2 (khususnya). Pas kecil saya selalu ingat suka dikasi koran2 langganan bapak, majalah2, novel2nya kakak. Hal itu memicu saya buat sering baca (ditambah tivi keluarga emang rusak dan hanya bisa nampilin TVRI, jadi emang tak ada hiburan lain, pelarian saya ke baca). Saya masih simpan buku2 lama pemberian sodara dan ortu itu di rumah, pas diliat lagi ternyata dulu saya banyak baca buku2 cerita proyekan Kementerian Pendidikan (atau Penerangan? saya lupa). Imajinasi kecil saya ternyata banyak dibentuk oleh bacaan semacam itu, selain komik Donald Bebek dan Dunia Dalam Berita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buku Inpres, ya? Ohya, saya masih ingat cerita soal buku ttg pagar betis. Doa saya untuk Ayah Fikry yg barusan 40 harian.

      Hapus
  5. JLK ini konsep yang menarik. Sebagai anak yang tumbuh di keluarga yang tidak gemar membaca, JLK bisa menjadi solusi untuk menanamkan budaya literasi. Pada tingkat Rukun Tetangga misalnya, JLK bisa menjadi media pemicu kegiatan literasi bagi keluarga-keluarga seperti keluarga saya. Konsep ini butuh direalisasikan dengan bantuan dari pemangku kebijakan dan support dana, seperti yang disampaikan penulis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Keluarga saya juga perlu diberi inspirasi, Teh Sese..

      Hapus
  6. Bung, terima kasih telah menyederhanakan masalah ini kepada saya. Pasti kelak berguna ketika say menjadi ayah. Salut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. "Bapak Imanul, silakan mengambil nomor antreannya," ucap petugas kasir di sebuah rumah sakit pelaminan.

      Hapus
  7. Saya sebarkan tulisan ini ke grup-grup keluarga dan grup yang berisi banyak pasutri yang sudah memiliki anak, agar segera terbaca dan diterapkan. Terimakasih, Kel!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kakak Canthing my number one support system. Terima kasih banyak! Rak buku di rumahmu bisa dijadikan katalog jaringan. Hehehe

      Hapus
  8. Baru kali ini baca konsep bagus seperti JLK. Sepertinya memang asyik juga efektif untuk diterapkan ke keluarga dan tetangga-tetangga rumaah. Untuk orang yang juga bukan dari keluarga yang minat baca, aku merasa ini butuh diterapkan, terutama untuk buku-buku anak, jadi, nantinya literasi di wilayah sekitar merata. Tidak hanya untuk anak, berbagai kalangan dari semua umur pun bisa. Nantinya bisa membuka ruang diskusi baru antartetangga, baik juga untuk kehidupan sosial.

    BalasHapus
  9. Saya paham betul bagaimana pentingnya kesadaran literasi dalam lingkup kecil seperti keluarga. Saya merasa bahwa ketika masih bocah saya tidak sempat didorong oleh orang tua untuk giat membaca buku umum, yang pada akhirnya dampak dari tidak ada kesadaran literasi tersebut saya rasakan sesudah menginjakkan di bangku kuliah, dimana saya dihadapkan pada wacana-wacana intelektual yang menurut saya perlu mengkajinya dari modal literasi. Dari pengalaman saya pribadi saya merepon tulisan di atas dengan sangat berbahagia dan mendukung apa yang telah di utarakannya bahwa sangat penting sekali memiliki kesadaran litarasi semenjak dini.

    BalasHapus
  10. Jujur, saya suka konsep ini. Saya jadi terinspirasi untuk menggunakan konsep ini dan selanjutnya diterapkan di keluarga saya di kemudian hari— jika sudah menjadi bapak kepala rumah tangga. Hehe

    BalasHapus
  11. Terima kasih atas tulisannya, bung. Setidaknya ada beberapa poin yang membekas di atas. Tentang bagaimana sebuah keluarga memfokuskan pengeluaran terhadap panganan, dan tentang bagaimana menjadi orang tua sebagai pembaca yang baik untuk mengajarkan anak menjadi sebagai seorang pembaca yang baik pula.

    Untuk yang pertama, menyisihkan uang untuk membeli buku bacaan hampir absen dipikirkan. Padahal, jika dipikir ulang, membeli buku juga tidak ubahnya membeli panganan. Toh, keduanya sama-sama sebuah asupan. Untuk yang terakhir adalah sebuah kebiasaan, mengajari anak untuk menjadi seorang pembaca yang baik adalah dengan mencontohkannya membaca, tidak hanya sekedar menyuruh. Agaknya, ini dapat menjadi sebuah hal yang sangat reflektif. Tentu saja ketika kita sudah sampai tahap sadar akan pentingnya literasi dalam sebuah keluarga.

    Persoalannya, bagaimana untuk mencapai kesadaran tersebut? Untuk pertanyaan ini, gagasan dalam tulisan bung di atas dapat membantu setidaknya sebagai sebuah langkah awal atau juga buku panduan untuk melaksanakannya. Atas dasar hal tersebut, rasa terima kasih yang aku sampaikan di atas dimaksudkan.

    BalasHapus
  12. Saya setuju bahwa literasi keluarga harus ditingkatkan, tradisi literasi akan menghadapkan sang anak untuk siap pada bagaimana cara kerja dunia yang kompleks, apapun minat sang anak pada masa depan, baik dalam ruang lingkup sains maupun sosial.

    BalasHapus
  13. Jadi agak sedih akutu, jadi inget kalo adekku sendiri masih lengket sama gadgetnya, padahal buku-buku ku di rumah numpuk. Susahnya buat ngajak anak2 kecil buat suka baca ya salah satunya juga karena lingkungan pertemanannya udah membentuk komunitas main game. Game sih gapapa, tapi kalo sampe lupa waktu dan dan bikin mata sakit susah juga ya.

    BalasHapus
  14. Dulu saya ngalamin juga, bareng dengan tetangga sebelah ngumpulin komik dan buku yang ada di rumah masing-masing untuk kemudian dibikin lapak buat penyewaan. Sampai kita bikin poster propagandanya segala, disebar ke RT sebelah. Laku sih enggak, tp jadi punya bahan bacaan baru yg gaada di rumah.

    Kalau tau ada bentuk managerial macam JLK, sabi banget, sih, untuk diterapin di di lingkungan sekitar. Nuhun untuk tulisanmu, bung.

    BalasHapus
  15. Mantep ki tulisane panjenengan. Semoga bisa diskusi di dunia nyata ya, kebetulan saya sedang berjihad mendirikan taman baca anak ... hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semangat Pijar kan sudah diwariskan secara gak langsung lewat kigurumi jerapah, Kak Za..

      Hapus
  16. Setelah membaca tulisan ini saya mencoba mengingat-ingat, "buku apa saja yang sudah saya baca sewaktu kecil hingga remaja?". Lalu saya terkejut dengan jawabannya: komik Doraemon yang saya sendiri pun lupa judul dan jalan ceritanya.

    Saya memang tumbuh bersama orang tua yang hampir (kalau bukan sepenuhnya) tidak memiliki budaya literasi. Tapi saya mencoba tidak menyalahkan mereka, karena kedua orang tua saya pun tumbuh bersama orang tuanya (kakek dan nenek saya) yang juga tidak memiliki kesadaran terhadap literasi. Entah leluhur saya yang mana yang pertama kali menanam itu semua.

    Tapi ada yang jauh lebih penting setelah membaca tulisan ini: semangat dan keyakinan saya untuk memutus rantai kealpaan literasi di keluarga saya kian membesar.

    Terima kasih, Kelana.

    BalasHapus
  17. bisa dibilang saya berlatar belakang keluarga yang tidak begitu literat. sebagian masa kecil saya dulu dihabiskan dengan membaca buku-buku yang sama berulang kali. tapi saya pula punya kenangan baik soal ensiklopedia-ensiklopedia anak yang rapi berjajar di rak buku sepupu saya. kunjungan ke rumahnya selalu jadi waktu yang menyenangkan.

    belakangan saya sadari kalau ekonomi keluarga kami mengambil peran sentral atas senjangnya akses literasi saya dan sepupu saya. kemudian di artikel ini, saya kira akhirnya saya temukan jawaban untuk memintas jarak itu. terima kasih sudah membagi jalan keluar dengan saya dan yang lain!

    BalasHapus
  18. Konsep JLK ternyata menjanjikan juga. Kayaknya akan bisa efektif untuk diterapkan ke setiap keluarga sama tetangga sekitar. Aku bukan lahir dari keluarga yang gemar baca dan ngerasa JLK ini penting untuk diterapkan supaya kegiatan literasi di sekitarku merata.

    Terima kasih, Bung! Tulisannya bikin melek mata dan pikiran.

    BalasHapus
  19. semacam jadi self reminder. Dulu sebelum menikah suka sekali baca buku. tapi setelah menikah justru kebiasaan membaca jauh berkurang. harus mulai membiasakan diri lagi nih, biar bisa jadi contoh buat krucil-krucil di rumah. :D

    BalasHapus
  20. Keren nih konsepnya. Aku juga suka baca buku tapi koleksiku tidak terlalu banyak. suatu ketika aku berkenalan dengan seseorang yang koleksi bukunya lumayan. dengan sedikit keberanian aku bilang tentang sudut baca yang ingin aku buat di kedai yang akan aku dirikan. ternyata keinginan itu disambut baik. dan begitulah. selain kopi, buku juga jadi salah satu menu yang bisa dinikmati pelanggan di kedai kami. selanjutnya mungkin harus mulai memikirkan cara untuk bikin sudut baca di rumah juga nih. terimakasih Bung tulisannya.

    BalasHapus
  21. Apa yang dijelaskan di atas membuat saya kembali mengingat masa kecil ketika sering meminjam komik Conan di perpustakaan dekat rumah. Setiap sore sehabis mengaji. Saya membayangkan bila konsep ini berjalan beberapa tahun ke depan mungkin setiap sore akan selalu ada anak yang datang ke rumah, mengetuk pintu, lalu berkata "Pak, aku mau pinjam buku doooong (sambil berteriak dan keringat dikening), aku lihat di katalog ada buku yang ingin ku baca". Tulisanmu menarik Bung.

    BalasHapus
  22. Tulisan yang apik! Terima kasih, bung

    BalasHapus
  23. Sangat menarik. Konsep yang terlihat sederhana memang butuh penjelasan yang sebegitu panjang. Sama seperti pembahasan sepakbola tiki-taka yang berpusat pada umpan-umpan pendek sederhana, tapi butuh berpuluh tahun untuk mencapai kesempurnaan. Dengan penjelasan yang komprehensif seperti ini, seharusnya konsep JLK bisa diaktualisasikan dengan baik.

    BalasHapus
  24. Lahir dari keluarga yang tidak berlatar pendidikan yang tinggi membuat saya tumbuh dengan membaca ala kadarnya. Saya tumbuh dengan cerita-cerita dari majalah dan dongeng-dongeng legenda. Itu saja. Beruntung saya masih bisa membaca majalah Bobo yang populer zaman itu. Karena kebanyakan teman di kampung saya bahkan sulit untuk mengakses bacaan. Benar adanya, ternyata keadaan ekonomi sebuah keluarga bisa menentukan bagaimana panjangnya literasi bacaan bisa diakses. Semangat kel, apik sekali tulisannya. Kini, dengan tulisanmu aku punya gambaran bagaimana seharusnya akses itu harus sampai kepada mereka.

    BalasHapus
  25. Jadi inget waktu SD setiap bulan ada kegiatan wisata buku, janjian dengan teman untuk membeli buku yang berbeda agar bisa saling bertukar pinjam.
    Terima kasih atas tulisannya bung, jadi bekal untuk suatu saat jadi kepala keluarga, atau ketua karang taruna, atau ketua rt.

    BalasHapus
  26. Saya baru menjumpai konsep macam JLK di sini. Menarik dan aplikatif.

    BalasHapus
  27. Tuhkan saya memang percaya dengan kekuatan jejaring keluarga dalam hal pemerataan literasi pada masyarakat. Ide yang sangat menarik dan pantas direalisasikan!

    BalasHapus