Bumi manusia dengan segala persoalannya memang tidak pernah kemput untuk dipahami sampai mati, tetapi Ihsan menyelesaikan judul pertama Tetralogi
Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer pada kelas 1 SMP. Lima tahun lebih
muda dari saya ketika mengatamkan kisah Minke dan Annelies tersebut. Saya
tercengang ketika melihat ia mengembalikan buku itu ke Lapak Pijar. Ia benar-benar
membacanya dan mampu menceritakan ulang kembali secara sederhana. Tetapi, siapa yang tahu
jika ada seorang pembaca muda potensial yang mengembalikan buku itu ke
sebuah lapak pustaka kecil di bawah pohon taman kota Blitar untuk mencari
sekuelnya? Meskipun sayang, Anak Semua
Bangsa yang tengah ia cari tengah dipinjam. Peristiwa tiga tahun yang lalu itu
membuat saya menyimpan harapan pada masa depan.
Persoalan yang muncul dari
preferensi baca pengunjung lapak bacaan Pijar tadi masih membekas dalam ingatan saya. Lapak baca yang saya inisiasi dengan beberapa kawan-kawan tiga tahun lalu
tersebut itu menyisakan satu pertanyaan besar, bagaimana mengatasi kesenjangan
minat dan selera baca masyarakat? Saya sadar pertanyaan ini terlampau besar, fokus
pertanyaan itu awalnya dihadapkan kepada para pegiat tapi saya akan coba
mengurainya dalam konteks yang lebih umum.
*
Gerakan literasi seperti lapak baca Pijar tidak bermaksud untuk
menggantikan peran perpustakaan konvesional. Tujuan beberapa gerakan literasi nampaknya serupa tapi tak sama, yakni memindahkan buku yang bertengger di
rak-rak rumah ke ruang publik sebagai alat sosial atau
pertukaran budaya, membuka ruang diskusi publik serta dialog antarpembaca. Kami melapak setiap hari minggu mulai pukul 9 sampai azan zuhur di Kebon
Rojo—salah satu taman kota Blitar. Biasanya, selepas siang, taman kota mulai
sepi lagi. Selain melapak, kami membuat program klub baca atau
nonton bareng, bertukar refrensi daftar putar musik, dll. Salah satu program
yang diinisiasi penggiat paling militan Pijar, Mbak Ratna adalah Ngabuburead.
Ngabuburead menjadi salah satu
program Pijar pada bulan puasa. Biasaya kami akan melapak di beberapa tempat
yang sering dilewati atau dikunjungi orang untuk menunggu waktu buka puasa. Kami juga menunggu waktu buka puasa kawan baca Pijar yang tinggal di sebuah
gang di Jalan Madura. Perjumpaan dengan mereka itulah yang membuat kami berpikir tentang peran keluarga dan literasi.
Kami menyebut mereka “Geng Madura”. Sebelum kami datang ke kampung
mereka, Revi dan kawan-kawan lainnnya biasanya berkunjung ke lapak Pijar. Mereka
adalah pembaca setia Pijar. Kesetiaan mereka tersebut membuat Mbak Ratna
membuat strategi—Geng Madura ini akan jadi pustakawan-pustakawan kecil yang
melayani dirinya sendiri. Mbak Ratna biasanya berkunjung setiap dua minggu
sekali untuk menaruh buku dalam kotak. Ia meninggalkan buku catatan peminjaman
di dalamnya. Para anak-anak diajari untuk menulis daftar peminjaman buku, bertugas melayani peminjam—mulai dari mencatat
sampai mengurus buku-buku itu.
Perjumpaan dengan Geng Madura dan dinamika yang
terjadi dalam komunitas Pijar mengantarkan saya pada pertanyaan-pertanyaan, apa
itu literasi, bagaimana peran keluarga dalam budaya literasi, serta apa
yang dapat dilakukan keluarga dalam meningkatkan budaya literasi? Sebelum itu,
apa sebenarnya makna literasi yang sering disebut belakangan ini?
*
Masyarakat telah akrab dengan
kata literasi yang kadang dipahami sebagai aktivitas membaca buku cetak atau elektronik. Pengertian
literasi yang akan dipaparkan selanjutnya beragam, tapi definisi literasi
menurut UNESCO adalah sebagai berikut:
…kemampuan untuk mengenali, memahami,
menginterpretasi, membuat, mengkomunikasikan, dan mengkomputasi, menggunakan
material cetak atau tertulis yang berhubungan dengan bermacam konteks yang melibatkan
rangkaian pembelajaran dalam memberdayakan individu untuk mencapai
tujuan-tujuannya, untuk mengembangkan wawasan serta potensinya, dan untuk
berpartisipasi secara penuh dalam komunitas atau dalam masyarakat yang lebih
luas. (UNESCO, 2005: 27)
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, literasi bukan sekadar aktivitas
yang berhubungan dengan buku cetak. Clinard (2005: 3) mendefinisikan literasi
sebagai kemampuan untuk berpikir, berbicara, mendengar, membaca, dan menulis
untuk menyelesaikan masalah, tugas yang kompleks, dan mengkomunikasikan
keinginan, kebutuhan, dan gagasan. Praktik literasi dengan demikian bergantung
serta berkembang dari konteks sosial dan budaya yang berbeda-beda dari tempat
tinggal orang. Definisi tersebut dapat disimpulkan dengan pendapat Behrman
(2004: 22-28) yang menyebut budaya literasi sebagai perilaku membaca yang
terintegrasi, pelatihan kepercayaan, dan pengetahuan. Street (1993: 1-21)
mempertahankan pandangan yang melihat literasi sebagai masalah yang secara
ekslusif berhubungan dengan membaca dan menulis adalah suatu pandangan yang problematik
karena hal tersebut menyerdehanakan pengalaman masyarakat yang memiliki tradisi
oral yang cukup panjang. Pendapat serupa juga diutarakan oleh Walter J.
Ong (1982), memahami literasi sebagai keterampilan teknis serta universal dan didasarkan pada proses
kognitif yang dapat diprediksi memiliki kesamaan. Dengan demikian, budaya literasi
bukan sekadar sebuah praktik membaca buku tapi lebih dari itu, ia melibatkan
kesatuan aktivitas berpikir serta bertindak.
Pengembangan budaya literasi dengan
demikian tidak dapat dilepaskan dari persoalan sosio-kultural yang kompleks.
Ia bukan aktivitas otonom yang hanya melibatkan individu. Perkembangan literasi
menurut McLane dan McNamee (1990) adalah sebuah proses sosial yang mendalam. Aktivitas literasi tertanam dalam hubungan sosial khususnya dalam hubungan orang tua dan anak,
saudara, kakek-nenek, teman, pengasuh, dan guru. Oleh karena itu peran keluarga dalam pengembangan budaya literasi menjadi sentral dalam
bahasan ini.
*
Rumah tangga sering dipakai dalam konteks unit ekonomi, perannya dalam
hal ini ditambah sebagai unit penggerak literasi. Sifat keluarga sebagai
bagian dalam rumah tangga tersebut memiliki keaFnggotaan yang jelas dan struktur
yang mapan adalah alasan untuk menjadikan keluarga sebagai tumpuan pengembangan budaya literasi. Tantangan menjadikan keluarga sebagai penggerak budaya literasi adalah alokasi
anggaran rumah tangga. Pengeluaran terbanyak rumah tangga merupakan kebutuhan
pangan. Sebagian besar keluarga kelas menengah ke bawah membutuhkan 50%
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Konsumsi literasi sulit
berkembang jika berhadapan dengan masalah kemampuan suatu keluarga untuk
mengaksesnya. Terlepas dari hal tersebut, peran seperti apa yang dijalankan oleh
keluarga dalam pengembangan literasi?
Ada beberapa faktor dalam perkembangan literasi anak untuk mencapai
tingkat melek literasi yang diinginkan. Faktor-faktor tersebut termasuk sikap
anak terhadap melek bacaan, latar belakang pengalaman dan kehidupan rumah
mereka, serta pengaruh orang tua dan sosial. Morrow (1997) menekankan bahwa
kualitas lingkungan literasi di rumah mempunyai hubungan yang erat dengan
kemampuan literasi awal anak-anak. Lebih lanjut soal peran orang tua, menurut
Dempsey (2010) sebelum mendidik anak-anak menjadi pembaca yang baik, para orang
tua juga perlu menjadi pembaca dan contoh bagi mereka.
Akan tetapi kesadaran peranan orang tua dalam perkembangan literasi umumnya cukup minim. Bettelheim dan Zelan (1982) juga menyatakan orang tua
perlu diyakinkan bahwa mereka adalah guru pertama anak-anak mereka, mereka juga
berperan langsung pada efek pembelajaran dan pengembangan literasi anak-anak.
Maka, orang tua hendaknya bersedia meluangkan waktu, sumber daya, dan energi
mereka dalam memelihara pertumbuhan anak-anak mereka dalam persoalan melek
bacaan. Selanjutnya kedua peneliti itu yakin bahwa orang tua dari semua lapisan
masyarakat, semua tingkat ekonomi dan pendidikan dapat membantu menciptakan
budaya keluarga yang mendorong anak-anak mereka untuk menjadi orang dewasa yang
aktif melek huruf dan pembaca sepanjang hayat. Meskipun tidak dapat dinafikan,
orang tua juga telah berperan mengenalkan literasi lewat tradisi lisan. Seperti yang
kita tahu, orang tua di Indonesia umumnya memiliki kebiasaan mendongeng.
Dengan demikian orangtua menjalankan proses pertama penularan kebiasaan literasi
kepada anaknya. Paratore dkk. (2011) menyatakan bahwa orang tua adalah sumber
utama untuk pengembangan literasi awal dan penanaman kebiasaan membaca yang
baik di antara anak-anak, sehingga membuat mereka menjadi pembaca yang
bersemangat, mau serta responsif melalui interaksi dengan mereka di bulan-bulan
pertama dan tahun-tahun kehidupan. Hal itu juga dianjurkan oleh Mehan (1992: 1-20), dalam penelitian tentang pemahaman ketidaksetaraan di rumah dan sekolah ia berpendapat
bahwa orang tua dan pendidik bekerja secara kooperatif untuk memodifikasi
lingkungan belajar sekolah. Hal-hal tersebut menyebabkan rumah tangga adalah target yang
cukup strategis untuk disasar dalam pengembangan literasi dengan tujuan yang sangat khusus,
yakni mengatasi kesenjangan selera dan minat baca.
Keluarga seringkali terlanjur dilemahkan potensi literasinya dengan
pilihan-pilihan di luarnya antara lain: sekolah dan dan perpustakaan
konvensional. Padahal seperti yang disebut di atas, keluarga memiliki peranan
yang cukup sentral dalam menularkan kebiasaan budaya literasi. Tetapi terkadang kita terlanjur menafikan peran mereka sebagai bagian dalam jaringan literasi. Maka permasalahan
keluarga dalam persoalan ini menjadi bertambah—mereka tidak sekadar bertugas mengelola usaha serta pemenuhan pangan—keluarga
dapat menjadi pegiat-pegiat literasi untuk komunitasnya sendiri. Bagaimana hal
yang paling memungkinkan untuk diwujudkan beberapa unit rumah tangga, semisal
dalam satu rukun tetangga dalam pengembangan budaya literasi tersebut?
*
Jaringan literasi kolektif yang
mulai bermunculan dalam masyarakat bertumpu pada beberapa pegiat. Persoalannya bagaimana keanggotaan dari pembaca yang
terlibat dalam gerakan tersebut? Mereka umumnya pasif, perannya hanyalah
sebagai peminjam katalog yang disediakan kolektif literasi. Tetapi tidak semua
kolektif bergerak dengan model seperti itu. Gubuk Cerita yang bergerak di
Malang misalnya. Kolektif ini tidak membiarkan pembaca sekadar pasif tetapi
juga mengajaknya terlibat dalam jaringan literasi tersebut.
Gubuk Cerita menciptakan sistem
katalog bersama. Judul-judul buku yang tersedia dalam katalog gerakan ini bukan
milik para penggeraknya saja, tetapi kumpulan koleksi milik para pembaca yang
bersedia meminjamkan bukunya. Tugas para penggeraknya adalah mengkatologisasi,
membuat publikasi, menjemput serta mengantarkan satu buku dari rumah satu ke
rumah yang lainnya. Dengan sumber daya manusia yang minim serta yang sifatnya
sukarela, kerja-kerja tersebut jelas berat. Jika angka peminjaman meningkat misalnya,
para penggeraknya bahkan sampai terserang tipes. Bayangkan saja, bagaimana misal ia
harus mengantar buku Paulo Freire milik seseorang yang berkediaman dari Dinoyo
ke Sawo Jajar—menggunakan sepeda! Tetapi sistem tersebut akan menjadi lebih
ringan jika dikerjakan bersama.
Sistem katalog kolektif tersebut
dapat diterapkan dalam skala yang lebih kecil juga mengandalkan keluarga sebagai penggeraknya. Setiap rumah tangga setidaknya pasti menyimpan buku
dengan jumlah yang bervariasi. Akses literasi dalam satu rukun tetangga dapat
dikoordinir secara kolektif agar dapat diakses bersama. Sebelum menginisiasi
aktivitas lainnya, membuat jaringan perpustakan atau
jaringan literasi dapat diterapkan sebagai langkah awal untuk mempromosikan budaya literasi. Pertanyaannya, apa saja masalah yang akan ditemui dalam pembangunan jaringan literasi keluarga yang memberdayakan masyarakat serta lingkungannya ini?
![]() |
| Peta Konsep Jaringan Literasi Keluarga |
Suatu keluarga memiliki modal budaya, ekonomi, dan politik. Modal budaya dalam keluarga
yang dimiliki sebuah keluarga adalah ilmu pengetahuan. Sebelum mencapai modal tersebut mereka
membutuhkan kemampuan ekonomi untuk mengakses pengetahuan yang menjadi sumber ilmu pengetahuan tersebut, semisal buku. Seperti yang disinggung sebelumnya, kemampuan suatu keluarga dalam mengonsumsi buku jelas dipengaruhi oleh akses ekonomi mereka. Bagi keluarga kelas menengah ke bawah kedua persoalan tersebut merupakan kendala. Tetapi mereka memiliki modal sosial, yaitu kemampuan organik dalam
bersosialisasi dengan para tetangga, persoalan kesenjangan selera dan
minat baca dapat diminimalisasi jika para keluarga mapan yang memiliki modal budaya dan
ekonomi bersedia menjadikan buku-buku yang dimiliki untuk diakses secara
terbuka.
Tujuan dari membuat Jaringan Literasi Keluarga (JLK) dengan peta konsep di atas adalah menciptakan keluarga literat, atau
keluarga yang melek bacaan. Seperti yang disebut di atas, keluarga memiliki
peran pertama dalam menularkan kebiasaan membaca. Keluarga yang membaca
akan menghasilkan turunan yang gemar membaca pula meskipun dengan preferensi
yang berbeda. Semisal saya sekarang menyukai buku sejarah. Tetapi bacaan awal saya adalah novel-novel Dan Brown seperti Da Vinci
Code. Judul buku itu saya pilih karena melihat kakak saya membacanya. Mungkin tetangga saya
tidak mengetahui jika kami memiliki novel tersebut, kami juga tidak
mengetahui refrensi bacaan yang berada dalam rak buku tetangga kami. Dengan membuat jaringan literasi keluarga, hal tersebut dapat dijembatani. Buku tetap berada di rak masing-masing rumah tangga, jaringan hanya berperan memberikan akses pada setiap buku yang dimiliki per rumah tangga untuk keluarga lainnya.
JLK dapat dikoordinasikan per rukun tetangga. Dalam menjalankan inisiasi jaringan literasi ini, ketua Rukun Tetangga perlu menjadi fasilitator atau penanggung jawab program. Negosiasi antarwarga dalam satu rukun tetangga adalah hal yang diperlukan untuk menjalankan jaringan. Dengan teknologi dewasa ini, para keluarga
dapat membuat grup WhatsApp misalnya untuk saling berkomunikasi dan
memutahirkan aktivitas literasi mereka. Dalam suatu rukun tetangga, jaringan
literasi keluarga ini dapat dikerjakan secara bergotong royong dengan pembagian tugas.
Tugas-tugas yang perlu diisi dalam gerakan ini antara lain adalah membuat katalog
bersama. Katalog bersama diperlukan untuk saling mengetahui variasi judul buku
yang dimiliki per kepala tetangga, setelah itu katalog tadi dapat disebar per
rumah tangga. Dengan demikian, akses bacaan yang tadinya bersifat privat
menjadi milik bersama dan dijaga secara kolektif. Jika pertukaran bacaan telah
terjadi kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan literasi dapat
diinisiasi.
Gagasan JLK membuat
persoalan kesenjangan akses pengetahuan menjadi persoalan bersama. JLK dapat berperan dalam pengembangan budaya literasi karena sifatnya yang
partisipatoris. Setiap anggota rumah tangga dituntut untuk berpikir mengenai
jalannya gerakan; berbicara dalam konteks distribusi pengetahuan, semisal
membuat diskusi mengenai buku yang telah dibaca dalam satu unit rumah tangga,
dan dalam skala yang lebih luas menginisiasi diskusi dalam satu rukun tetangga
atau antarrukun tetangga; mendengar setiap permasalahan yang terjadi, seperti pembaharuan
katalog; kemampuan membaca pun secara tidak langsung juga dituntut untuk
berkembang seiring berjalannya peningkatan kebutuhan katalog buku yang
dibutuhkan; JLK juga mengajarkan menulis,
semisal untuk meninjau aktivitas membaca para anggota rumah tangga mereka dapat
membuat satu sistem resensi buku atau testimoni baca; jaringan ini juga dapat menjadi ruang belajar bagi masyarakat untuk menangani tugas yang kompleks, mengkomunikasikan
keinginan, kebutuhan, dan gagasan. Seiring berjalannya jaringan, inisiasi
lainnya juga dapat timbul semisal nonton bareng atau membuat lokakarya
penulisan, lokakarya kerajinan tangan, atau aktivitas-aktivitas kreatif
lainnya.
Jika JLK mendapat dukungan dari pemangku kebijakan serta dukungan dana dari komponen lain yang ada dalam masyarakat, untuk mempermudah sistem katalogisasi serta koordinasi. JLK dapat didukung dengan pemberdayaan aplikasi berbasis gawai. Hadirnya aplikasi dapat memecahkan
persoalan pekerjaan rumit menjadi ringkas. Tunjangan digital dalam jaringan ini
juga memudahkan para anggota untuk mengecek ketersediaan buku, daftar peminjam buku serta dapat menjadi pengingat waktu pengembalian. Hadirnya aplikasi
tidak akan mengubah pola komunikasi, ia hanya mempermudah. Konsep jaringan literasi juga dapat mempererat keakraban tetangga.
JLK dapat menjadi pendukung Gerakan
Literasi Keluarga yang menjadi salah strategi Gerakan Literasi Nasional, yaitu
penguatan kapasitas fasilitator, peningkatan jumlah dan ragam sumber bacaan
bermutu, perluasan akses terhadap sumber bacaan dan cakupan peserta, penguatan
pelibat publik serta penguatan tata kelola (Gerakan Literasi Nasional, 2017:
22). Seperti yang juga telah disebut sebelumnya, JLK juga dapat menjadi bagian
GLN, khususnya menambah strategi Gerakan Literasi Keluarga yang memiliki
strategi implemantasi dalam melibatkan kementrian, lembaga, pemda, dunia usaha
dan indsustri, serta media massa dalam mengembangkan literasi di sekolah atau
di masyarakat; menyelenggarakan pertemuan rutin orang tua orang tua murid/wali
murid dengan pihak sekolah; penyelenggaraan festival literasi serta pelibatan
perguruan tinggi dalam penelitian dan pengembangan. (Gerakan Literasi Nasional,
2017: 46).
Sementara anak-anak dapat belajar bertanggung jawab secara aktif dalam
menjalankan perannya sebagai anggota keluarga. Keterlibatan orang tua dalam
gerakan JLK akan menginspirasi mereka dalam keseharian. Pola gerakan literasi
yang berkelanjutan dengan sifatnya yang cair akan merangsang daya imajinasi
anak-anak untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang ingin mereka capai.
Jaringan literasi yang dibentuk
dapat menjadi jawaban atas masalah kesenjangan selera baca. Variasi judul buku
yang dimiliki setiap unit rumah tangga dapat diakses dengan mudah oleh setiap
warga. Mereka dapat bertukar cerita pengalaman membaca tersebut sehingga
kesenjangan selera baca dapat ditekan. Secara tidak langsung minat baca dari
suatu komunitas tersebut dengan sendirinya juga meningkat karena aktivitas yang
terjadi di dalamnya turut menginspirasi satu sama lain. Pemutakhiran bacaan setiap anggota jaringan menjadi perlu karena mereka membutuhkan acuan untuk dapat terlibat dalam setiap obrolan yang
berhubungan dengan literasi. Dengan demikian, fungsi buku berubah tidak sekadar
menjadi objek materi, tetapi seperti yang diungkapkan Robert Escarpit (2005:
17), ia menjadi alat pertukaran budaya. Senada dengan itu, Jean Paul Sartre (1949) juga mengatakan bahwa kita dapat menentukan
sendiri definisi buku, dengan demikian buku adalah mesin untuk dibaca yang memunculkan benda konkret dan khayalan, yakni
buku yang ditulis dengan nalar.
*
JLK juga dapat menjadi cara untuk mempromosikan budaya literasi. Mempromosikan budaya literasi, seperti yang dikatakan Paulo Freire (1994)
akan membantu masyarakat dalam menghadapi tantangan dalam keseharian serta
menguatkan kemampuan masyarakat dalam berpartisipasi dalam bermacam
kegiatan yang bertujuan untuk
mempromosikan pemerintahan yang bersih dan demokratis. Masyarakat dapat
menggunakan kemampuan literasinya untuk berpartisipasi secara penuh dalam
pengembangan masyarakat, menaikan kualitas hidup mereka, membuat
keputusan-keputusan yang tepat, mengembangkan cara berpikir kritis dan otonom, dan
terus belajar.
Dengan demikian JLK dapat menyumbangkan suatu pola kerja yang dapat membantu meningkatkan kualitas
hidup masyarakat. Kachala (2007) mengegaskan bahwa promosi budaya membaca
penting dalam artian masa depan seluruh warga negara membutuhkan swadidik, dan
pembelajaran yang berkelanjutan. Oleh karena itu pancapaian akademik yang
unggul tidak bisa tercapai dan berkelanjutan tanpa adanya budaya literasi untuk pengembangan diri secara berkelanjutan. Maka perkembangan literasi
dapat dimulai dari setiap unit rumah tangga yang menjadi basis paling dasar
perkembangan setiap anggota masyarakat dalam suatu komunitas. Meskipun
persoalan dalam bumi manusia tidak akan pernah kemput untuk dipikirkan atau
diselesaikan, tetapi setidaknya persoalan pengembangan budaya literasi tersebut dapat menjadi tanggungan bersama. []
Daftar Pustaka:
Behrman, C. 2004. The culture of reading in a public school:
Ethnography, service-learning, and undergraduate researchers.
Expedition, 46.
Dempsey, J. D. 2010. Present yout way to the top. New York:
McGraw Hill.
Escarpit, Robert. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Jakarta:
Yayasan Pusataka Obor Indonesia.
Freire, P. 1994. Pedagogy of Hope Reliving pedagogy of the
oppressed. New York: Continuum.
Gerakan
Literasi Nasional. 2017. Panduan Gerakan Literasi
Nasional. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Gerakan
Literasi Nasional. 2017. Peta Jalan
Gerakan Literasi Nasional. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kachala, F. F. C. 2007. Developing a reading culture among the rural
masses of Mwambo, Zomba District, Malawi:
a concept for
the 21st century and
beyond.
McLane, J.
B. & McNamee,
G. D. 1990. Early literacy.
Cambridge, Ma: Harvard University Press.
Mehan, H. 1992.
Understanding inequality in
schools: The contribution
of interpretive studies. Sociology
of education.
Morrow, L. M. 1997. Literacy development in the early years:
Helping children read and write. Boston: Allyn and Bacon.
Ong, W. J. 1982. Orality and literacy: The technologizing of
the word. London: Methuen.
UNESCO. 2005. Education for All: Literacy for Life Global
Monitoring Report 2006. Paris: UNESCO.
Paratore, J. R.,
Cassano, C. M.,
& Schickedanz, J. A.,
2011. “Supporting early
(and later) literacy development
at home and at school” dalam M. L. Kamil, P. D. Pearson, E. M. Birr & P.
P. Afflerbach (Eds.), Handbook of
Reading Research. Vol.4.
New York & London: Routledge
Sartre, Jean Paul. 1949. What is Literature. New York: Philosopical Library.
#SahabatKeluarga #LiterasiKeluarga
Street, B.
V. 1993. “Introduction: The
new literacy studies”
dalam B. V.
Street (Ed.), Crosscultural
approaches to literacy. Cambridge: Cambridge University Press.


Di rumah keluarga saya terdapat terlalu banyak buku yang memenuhi dua rak setinggi 2 meter dan selebar 1 meter yang kurang terurus. Suka sedih ketika pulang melihat buku-buku didiamkan begitu saja, bahkan saya sendiri tidak menyentuhnya. Konsep jaringan literasi yang dijelaskan sepertinya bisa coba diaplikasikan mengingat tetangga sekeliling rumah sebagian besar pensiunan dan memiliki cucu-cucu masih kecil, dua kelompok umur yang punya banyak waktu luang untuk membaca.
BalasHapusMakasih udah mampir dan membaca, Lat, terima kasih juga ngingetin buat proofread.
HapusSiipp
BalasHapusWah, menarik untuk aplikasi di kondisi keluarga yang anak-anaknya sudah pada besar. Suka sedih orang tua udah pensiun dan pastinya mereka bosan sama rutinitas repetitifnya, gak tega juga karena saya dan kakak saya sementara gak tinggal di rumah karena masa studi. Di rumah papah koleksi bukunya banyak, beliau juga senang kumpul sama anak-anak meskipun ayah saya gak begitu ngerti caranya dekat sama anak kecil, tapi beliau senang sekali kalau ada anak yang kepoin buku dia ketika sedang baca di teras. Saya bakal share ayahku soal konsepnya, mantap
BalasHapusKata kunci pensiunan udah muncul dua kali, kayanya golongan itu bisa dijadikan studi kasus juga.
HapusMembaca definisi "keluarga literat" sedikit menohok mengingat bahwa keluarga saya bukan dari keluarga akademis, apalagi gencar membaca. Kesadaran membaca sepertinya hanya dimulai dari anak kedua dan berakhir di anak ketiga, saya. Kedua adik generasi Z sudah enggan untuk menyentuh buku-buku lama milik saya. Sedikit cara yang sudah saya lakukan untuk adik-adik adalah memberikan mereka buku baru untuk menjadi bahan bacaan. Mungkin, konsep jaringan literasi diatas akan menjadi cara baru untuk saya berikan pada adik-adik.
BalasHapusKerasa sih gimana keluarga punya peran dalam ngenalin saya sama buku2 (khususnya). Pas kecil saya selalu ingat suka dikasi koran2 langganan bapak, majalah2, novel2nya kakak. Hal itu memicu saya buat sering baca (ditambah tivi keluarga emang rusak dan hanya bisa nampilin TVRI, jadi emang tak ada hiburan lain, pelarian saya ke baca). Saya masih simpan buku2 lama pemberian sodara dan ortu itu di rumah, pas diliat lagi ternyata dulu saya banyak baca buku2 cerita proyekan Kementerian Pendidikan (atau Penerangan? saya lupa). Imajinasi kecil saya ternyata banyak dibentuk oleh bacaan semacam itu, selain komik Donald Bebek dan Dunia Dalam Berita.
BalasHapusBuku Inpres, ya? Ohya, saya masih ingat cerita soal buku ttg pagar betis. Doa saya untuk Ayah Fikry yg barusan 40 harian.
HapusJLK ini konsep yang menarik. Sebagai anak yang tumbuh di keluarga yang tidak gemar membaca, JLK bisa menjadi solusi untuk menanamkan budaya literasi. Pada tingkat Rukun Tetangga misalnya, JLK bisa menjadi media pemicu kegiatan literasi bagi keluarga-keluarga seperti keluarga saya. Konsep ini butuh direalisasikan dengan bantuan dari pemangku kebijakan dan support dana, seperti yang disampaikan penulis.
BalasHapusKeluarga saya juga perlu diberi inspirasi, Teh Sese..
HapusBung, terima kasih telah menyederhanakan masalah ini kepada saya. Pasti kelak berguna ketika say menjadi ayah. Salut.
BalasHapus"Bapak Imanul, silakan mengambil nomor antreannya," ucap petugas kasir di sebuah rumah sakit pelaminan.
HapusSaya sebarkan tulisan ini ke grup-grup keluarga dan grup yang berisi banyak pasutri yang sudah memiliki anak, agar segera terbaca dan diterapkan. Terimakasih, Kel!
BalasHapusKakak Canthing my number one support system. Terima kasih banyak! Rak buku di rumahmu bisa dijadikan katalog jaringan. Hehehe
HapusBaru kali ini baca konsep bagus seperti JLK. Sepertinya memang asyik juga efektif untuk diterapkan ke keluarga dan tetangga-tetangga rumaah. Untuk orang yang juga bukan dari keluarga yang minat baca, aku merasa ini butuh diterapkan, terutama untuk buku-buku anak, jadi, nantinya literasi di wilayah sekitar merata. Tidak hanya untuk anak, berbagai kalangan dari semua umur pun bisa. Nantinya bisa membuka ruang diskusi baru antartetangga, baik juga untuk kehidupan sosial.
BalasHapusPemerataan akses literasi adalah kunci, ya, Win~
HapusSaya paham betul bagaimana pentingnya kesadaran literasi dalam lingkup kecil seperti keluarga. Saya merasa bahwa ketika masih bocah saya tidak sempat didorong oleh orang tua untuk giat membaca buku umum, yang pada akhirnya dampak dari tidak ada kesadaran literasi tersebut saya rasakan sesudah menginjakkan di bangku kuliah, dimana saya dihadapkan pada wacana-wacana intelektual yang menurut saya perlu mengkajinya dari modal literasi. Dari pengalaman saya pribadi saya merepon tulisan di atas dengan sangat berbahagia dan mendukung apa yang telah di utarakannya bahwa sangat penting sekali memiliki kesadaran litarasi semenjak dini.
BalasHapusJadi, maneh kapan nikah, Lal?
HapusJujur, saya suka konsep ini. Saya jadi terinspirasi untuk menggunakan konsep ini dan selanjutnya diterapkan di keluarga saya di kemudian hari— jika sudah menjadi bapak kepala rumah tangga. Hehe
BalasHapusSehat terus, mang!
HapusTerima kasih atas tulisannya, bung. Setidaknya ada beberapa poin yang membekas di atas. Tentang bagaimana sebuah keluarga memfokuskan pengeluaran terhadap panganan, dan tentang bagaimana menjadi orang tua sebagai pembaca yang baik untuk mengajarkan anak menjadi sebagai seorang pembaca yang baik pula.
BalasHapusUntuk yang pertama, menyisihkan uang untuk membeli buku bacaan hampir absen dipikirkan. Padahal, jika dipikir ulang, membeli buku juga tidak ubahnya membeli panganan. Toh, keduanya sama-sama sebuah asupan. Untuk yang terakhir adalah sebuah kebiasaan, mengajari anak untuk menjadi seorang pembaca yang baik adalah dengan mencontohkannya membaca, tidak hanya sekedar menyuruh. Agaknya, ini dapat menjadi sebuah hal yang sangat reflektif. Tentu saja ketika kita sudah sampai tahap sadar akan pentingnya literasi dalam sebuah keluarga.
Persoalannya, bagaimana untuk mencapai kesadaran tersebut? Untuk pertanyaan ini, gagasan dalam tulisan bung di atas dapat membantu setidaknya sebagai sebuah langkah awal atau juga buku panduan untuk melaksanakannya. Atas dasar hal tersebut, rasa terima kasih yang aku sampaikan di atas dimaksudkan.
Saya setuju bahwa literasi keluarga harus ditingkatkan, tradisi literasi akan menghadapkan sang anak untuk siap pada bagaimana cara kerja dunia yang kompleks, apapun minat sang anak pada masa depan, baik dalam ruang lingkup sains maupun sosial.
BalasHapusJadi agak sedih akutu, jadi inget kalo adekku sendiri masih lengket sama gadgetnya, padahal buku-buku ku di rumah numpuk. Susahnya buat ngajak anak2 kecil buat suka baca ya salah satunya juga karena lingkungan pertemanannya udah membentuk komunitas main game. Game sih gapapa, tapi kalo sampe lupa waktu dan dan bikin mata sakit susah juga ya.
BalasHapusDulu saya ngalamin juga, bareng dengan tetangga sebelah ngumpulin komik dan buku yang ada di rumah masing-masing untuk kemudian dibikin lapak buat penyewaan. Sampai kita bikin poster propagandanya segala, disebar ke RT sebelah. Laku sih enggak, tp jadi punya bahan bacaan baru yg gaada di rumah.
BalasHapusKalau tau ada bentuk managerial macam JLK, sabi banget, sih, untuk diterapin di di lingkungan sekitar. Nuhun untuk tulisanmu, bung.
Mantep ki tulisane panjenengan. Semoga bisa diskusi di dunia nyata ya, kebetulan saya sedang berjihad mendirikan taman baca anak ... hehe
BalasHapusSemangat Pijar kan sudah diwariskan secara gak langsung lewat kigurumi jerapah, Kak Za..
HapusSetelah membaca tulisan ini saya mencoba mengingat-ingat, "buku apa saja yang sudah saya baca sewaktu kecil hingga remaja?". Lalu saya terkejut dengan jawabannya: komik Doraemon yang saya sendiri pun lupa judul dan jalan ceritanya.
BalasHapusSaya memang tumbuh bersama orang tua yang hampir (kalau bukan sepenuhnya) tidak memiliki budaya literasi. Tapi saya mencoba tidak menyalahkan mereka, karena kedua orang tua saya pun tumbuh bersama orang tuanya (kakek dan nenek saya) yang juga tidak memiliki kesadaran terhadap literasi. Entah leluhur saya yang mana yang pertama kali menanam itu semua.
Tapi ada yang jauh lebih penting setelah membaca tulisan ini: semangat dan keyakinan saya untuk memutus rantai kealpaan literasi di keluarga saya kian membesar.
Terima kasih, Kelana.
bisa dibilang saya berlatar belakang keluarga yang tidak begitu literat. sebagian masa kecil saya dulu dihabiskan dengan membaca buku-buku yang sama berulang kali. tapi saya pula punya kenangan baik soal ensiklopedia-ensiklopedia anak yang rapi berjajar di rak buku sepupu saya. kunjungan ke rumahnya selalu jadi waktu yang menyenangkan.
BalasHapusbelakangan saya sadari kalau ekonomi keluarga kami mengambil peran sentral atas senjangnya akses literasi saya dan sepupu saya. kemudian di artikel ini, saya kira akhirnya saya temukan jawaban untuk memintas jarak itu. terima kasih sudah membagi jalan keluar dengan saya dan yang lain!
Konsep JLK ternyata menjanjikan juga. Kayaknya akan bisa efektif untuk diterapkan ke setiap keluarga sama tetangga sekitar. Aku bukan lahir dari keluarga yang gemar baca dan ngerasa JLK ini penting untuk diterapkan supaya kegiatan literasi di sekitarku merata.
BalasHapusTerima kasih, Bung! Tulisannya bikin melek mata dan pikiran.
semacam jadi self reminder. Dulu sebelum menikah suka sekali baca buku. tapi setelah menikah justru kebiasaan membaca jauh berkurang. harus mulai membiasakan diri lagi nih, biar bisa jadi contoh buat krucil-krucil di rumah. :D
BalasHapusKeren nih konsepnya. Aku juga suka baca buku tapi koleksiku tidak terlalu banyak. suatu ketika aku berkenalan dengan seseorang yang koleksi bukunya lumayan. dengan sedikit keberanian aku bilang tentang sudut baca yang ingin aku buat di kedai yang akan aku dirikan. ternyata keinginan itu disambut baik. dan begitulah. selain kopi, buku juga jadi salah satu menu yang bisa dinikmati pelanggan di kedai kami. selanjutnya mungkin harus mulai memikirkan cara untuk bikin sudut baca di rumah juga nih. terimakasih Bung tulisannya.
BalasHapusApa yang dijelaskan di atas membuat saya kembali mengingat masa kecil ketika sering meminjam komik Conan di perpustakaan dekat rumah. Setiap sore sehabis mengaji. Saya membayangkan bila konsep ini berjalan beberapa tahun ke depan mungkin setiap sore akan selalu ada anak yang datang ke rumah, mengetuk pintu, lalu berkata "Pak, aku mau pinjam buku doooong (sambil berteriak dan keringat dikening), aku lihat di katalog ada buku yang ingin ku baca". Tulisanmu menarik Bung.
BalasHapusTulisan yang apik! Terima kasih, bung
BalasHapusSangat menarik. Konsep yang terlihat sederhana memang butuh penjelasan yang sebegitu panjang. Sama seperti pembahasan sepakbola tiki-taka yang berpusat pada umpan-umpan pendek sederhana, tapi butuh berpuluh tahun untuk mencapai kesempurnaan. Dengan penjelasan yang komprehensif seperti ini, seharusnya konsep JLK bisa diaktualisasikan dengan baik.
BalasHapusLahir dari keluarga yang tidak berlatar pendidikan yang tinggi membuat saya tumbuh dengan membaca ala kadarnya. Saya tumbuh dengan cerita-cerita dari majalah dan dongeng-dongeng legenda. Itu saja. Beruntung saya masih bisa membaca majalah Bobo yang populer zaman itu. Karena kebanyakan teman di kampung saya bahkan sulit untuk mengakses bacaan. Benar adanya, ternyata keadaan ekonomi sebuah keluarga bisa menentukan bagaimana panjangnya literasi bacaan bisa diakses. Semangat kel, apik sekali tulisannya. Kini, dengan tulisanmu aku punya gambaran bagaimana seharusnya akses itu harus sampai kepada mereka.
BalasHapusJadi inget waktu SD setiap bulan ada kegiatan wisata buku, janjian dengan teman untuk membeli buku yang berbeda agar bisa saling bertukar pinjam.
BalasHapusTerima kasih atas tulisannya bung, jadi bekal untuk suatu saat jadi kepala keluarga, atau ketua karang taruna, atau ketua rt.
Saya baru menjumpai konsep macam JLK di sini. Menarik dan aplikatif.
BalasHapusTuhkan saya memang percaya dengan kekuatan jejaring keluarga dalam hal pemerataan literasi pada masyarakat. Ide yang sangat menarik dan pantas direalisasikan!
BalasHapus